RUU pertanahan yang sedang dikebut pemerintah dan DPR dinilai akan memberikan impunitas terhadap korporasi yang menguasai lahan secara fisik melebihi luasan haknya.Dalam perspektif HAM, RUU Pertanahan juga dinilai menimbulkan pengabaian terhadap akses masyarakat terhadap lahan/milik dengan memperlama jangka waktu penguasaan guna usaha untuk konsesi perusahaan
"Kami melihat ada potensi impunitas terhadap korporasi. Kalau ditetapkan dengan rumusan sekarang, betul ada pemutihan lahan-lahan oleh korporasi," ujar Wakil Ketua Bidang Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandrayati Moniaga di Jakarta, Jumat.
Pasal 25 Ayat 8 RUU Pertanahan versi Agustus-September 2019 menyebut dalam hak pemegang hak guna usaha (HGU) menguasai fisik melebihi luasan pemberian haknya, maka status tanahnya dihapus dan menjadi tanah yang dikuasai oleh negara yang penggunaan dan pemanfaatannya diatur oleh menteri.
Baca juga: Komnas HAM: RUU Pertanahan tak hadirkan penyelesaian konflik
Padahal data Komnas HAM menunjukkan dari 2,7 juta hektare lahan yang berkonflik karena konsesi, sebagian besar adalah tanah yang merupakan wilayah hidup masyarakat dan sebagian perusahaan yang diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Untuk itu, Sandrayati menilai pasal itu menegasikan hak masyarakat.
Baca juga: Sofyan Djalil : RUU pertanahan tidak gantikan UU Pokok Agraria
Dalam perspektif HAM, RUU Pertanahan juga dinilai menimbulkan pengabaian terhadap akses masyarakat terhadap lahan/milik dengan memperlama jangka waktu penguasaan guna usaha untuk konsesi perusahaan.
Pasal 25 mengatur 35 tahun, dapat diperpanjang 35 tahun dan diperpanjang 20 tahun atau total 90 tahun.
Baca juga: Ombudsman minta DPR kaji ulang RUU Pertanahan sebelum disahkan
Selain itu, RUU Pertanahan permisif terhadap penguasaan individual yang luas (5 Ha) dan apabila memiliki di berbagai tempat hanya diberikan pajak progresif.
Oleh karena itu, Komnas HAM RI meminta Presiden dan DPR RI untuk menunda pengesahan RUU Pertanahan dan kembali mendiskusikan muatan materi yang diatur agar selaras dengan konstitusi, TAP MPR Nomor IX/MPR/2011 dan UUPA.
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2019