• Beranda
  • Berita
  • Pengamat nilai KPK tidak perlu miliki dewan pengawas

Pengamat nilai KPK tidak perlu miliki dewan pengawas

7 September 2019 22:33 WIB
Pengamat nilai KPK tidak perlu miliki dewan pengawas
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera Bivitri Susanti. (ANTARA / Maria Rosari)
Pengamat sekaligus pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu memiliki dewan pengawas, sebagaimana yang diusulkan oleh DPR dalam usulan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

"Menurut saya tidak perlu karena KPK sudah memiliki mekanisme pengawasan sendiri," ujar Bivitri saat dihubungi, Sabtu.

Bivitri mengatakan KPK telah memiliki mekanisme pengawasan yang cukup ketat, mulai dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), DPR, Kementerian Komunikasi dan Informasi hingga mekanisme pra peradilan.

Baca juga: Revisi UU KPK, Legislator: tidak muncul tiba-tiba

Baca juga: Revisi UU KPK, Arsul Sani: DPR justru tak ingin KPK dilemahkan

Baca juga: Jurnalis-Koalisi Masyarakat Sipil NTB tolak revisi UU KPK


Menurut dia, pengawasan yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut sudah cukup untuk memantau kinerja KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi.

"Jadi mekanisme sudah lengkap dan tidak harus selalu lembaga," kata Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu.

Lebih lanjut dia mengatakan keberadaan dewan pengawas juga tidak bisa menjamin sebuah lembaga bisa bekerja secara efektif.

"Misalkan Kompolnas, menurut saya itu belum efektif mengawasi polisi. Kemudian Komisi Kejaksaan, itu ada lembaganya tapi tidak efektif juga, jadi hitungannya bukan ada lembaga atau tidak ada lembaganya tapi mekanismenya efektif atau tidak," ujar Bivitri.

Rapat paripurna DPR pada Kamis (5/9) menyetujui usulan revisi UU No 30 tahun 2002 tentang KPK.

Materi muatan revisi UU KPK tersebut meliputi perubahan status kepegawaian para pegawai KPK menjadi ASN, kewenangan penyadapan, pembentukan Dewan Pengawas, KPK tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, peralihan pelaporan LHKPN, serta kewenangan KPK untuk menghentikan perkara.

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019