• Beranda
  • Berita
  • GAPPRI nilai kenaikan tarif cukai rokok beratkan industri

GAPPRI nilai kenaikan tarif cukai rokok beratkan industri

14 September 2019 15:37 WIB
GAPPRI nilai kenaikan tarif cukai rokok beratkan industri
Ilustrasi. Petani menjemur tembakau rajangan di lapangan lembah Gunung Sindoro-Sumbing, Desa Kledung, Temanggung, Jawa Tengah, Selasa (10/9/2019). ANTARA FOTO/Anis Efizudin

Belum pernah terjadi kenaikan cukai dan harga jual eceran yang sebesar ini

Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menilai kenaikan tarif cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran rata-rata 35 persen pada 2020 memberatkan industri hasil tembakau.

Ketua Umum Perkumpulan GAPPRI Henry Najoan dalam pernyataan di Jakarta, Sabtu, mengatakan kalangan industri dan pemangku kepentingan terkait belum pernah mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai keputusan strategis tersebut.

"Selama ini, informasi yang kami terima rencana kenaikan cukai pada kisaran 10 persen, angka yang moderat bagi kami, meski berat," kata Henry.

Baca juga: Sampoerna sampaikan dua rekomendasi terkait tarif cukai

Menurut dia, kebijakan ini dapat membuat industri hasil tembakau harus menyetor cukai kira-kira sebesar Rp185 triliun, belum termasuk pengenaan pajak rokok sebesar 10 persen dan PPN dari harga jual eceran sebesar 9,1 persen.

"Dengan demikian setoran kami ke pemerintah bisa mencapai Rp200 triliun. Belum pernah terjadi kenaikan cukai dan harga jual eceran yang sebesar ini," katanya.

Henry menyatakan masalah lain yang dihadapi industri adalah peredaran rokok ilegal, karena saat tarif cukai hasil tembakau naik rata-rata 10 persen, peredaran produk hasil tembakau yang tidak sesuai ketentuan sudah sangat marak.

Selain itu, tambah dia, pelaku industri hasil tembakau juga sedang menghadapi situasi pasar yang masih lesu sehingga kebijakan tersebut berpotensi menyebabkan makin turunnya produksi rokok buatan mesin maupun tangan.

"Tentu juga akan berakibat kepada menurunnya penyerapan tembakau dan cengkih, serta dampak kepada tenaga kerja," ujarnya.

Kendala lain yang dihadapi para pelaku industri adalah rencana simplifikasi cukai atau penggabungan layer yang menjadi ancaman baru serta maraknya penggunaan rokok elektrik yang sedang tumbuh pesat dan mendapatkan perlakuan berbeda dari rokok konvensional.

"Pemerintah tidak peduli pada industri hasil tembakau, tidak memperhatikan nasib tenaga kerja dan petani tembakau dan cengkih. Kami tidak bisa membayangkan kesulitan yang akan kami hadapi ke depan," kata Henry.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan adanya kenaikan tarif cukai hasil tembakau sebesar 23 persen serta harga jual eceran menjadi rata-rata 35 persen mulai 2020 yang akan diberlakukan sesuai Keputusan Presiden.

Kebijakan tarif cukai dan harga banderol ini telah mempertimbangkan beberapa hal, antara lain jenis hasil tembakau (buatan mesin dan tangan), golongan pabrikan rokok (besar, menengah, dan kecil), jenis industri (padat modal dan padat karya) serta asal bahan baku (lokal dan impor).

Secara prinsip, besaran kenaikan tarif dan harga banderol dikenakan secara berjenjang dimana tarif dan harga jual eceran Sigaret Kretek Tangan (SKT) lebih rendah daripada Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SKM).

Baca juga: Dirjen BC pastikan kenaikan tarif cukai rokok lindungi padat karya
Baca juga: BC yakini kenaikan cukai tidak tingkatkan peredaran rokok ilegal

Pewarta: Satyagraha
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019