"Saya ingin tahu betul apa yang diinginkan oleh pelaku usaha. Jangan banyak-banyak, tiga pokok saja tapi kita rumuskan kita putuskan, kemudian pemerintah akan lakukan kebijakannya sehingga betul-betul bermanfaat bagi bapak-bapak ibu semuanya karena kalau kemarin saya diberi cerita oleh bank dunia, 1,5 tahun lagi ekonomi dunia akan mengalami resesi," kata Presiden di Istana Merdeka Jakarta, Senin.
Presiden menyampaikan hal tersebut saat menerima pengurus dan anggota Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Produsen Serat Sintetis dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI).
Baca juga: Belum semua perusahaan tekstil siap terapkan Revolusi Industri 4.0
Presiden didampingi oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong dan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo.
"Kita ini hati-hati, kita harapkan ini justru jadi peluang untuk membenahi hal yg masih perlu kita perbaiki dan kita juga tahu beberapa negara sekarang ini pada kondisi resesi karena pertumbuhannya minus sehingga kesempatan ini kita harus gunakan agar terjadi sebuah titik bagi industrailisasi," ungkap Presiden.
Presiden menjelaskan bahwa gejolak ekonomi dunia seperti perang dagang antara Tiongkok dan AS bisa menjadi tantangan tapi sekaligus bisa menjadi peluang untuk meningkatkan ekspor terutama produk tekstil, serat sintesis, dan benang filamen.
Baca juga: "Lead time" panjang, daya saing tekstil Indonesia merosot
Apalagi industri tekstil dan pakaian jadi menjadi industri dengan pertumbuhan tertinggi di triwulan kedua 2019 tahun ini yaitu sebesar 20,71 persen.
"Ini adalah pertumbuhan yang sangat tinggi dan masuk 5 besar dengan industri kontribusi tertinggi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) di triwulan kedua 2019 yaitu 1,30 persen," tambah Presiden.
Namun pertumbuhan pangsa pasar tekstil dan produk tekstil Indonesia di pasar global cenderung stagnan yaitu di sekitar 1,6 persen, tertinggal jauh bila dibandingkan dengan China 31,8 persen, pesaing utama Indonesia sebesar 4,59 persen serta Bangladesh 4,72 persen pada tahun 2018.
Ekspor tekstil dan produk tekstil di triwulan kedua 2019 juga turun 0,6 persen jika dibandingkan denganperiode yang sama di 2018 untuk ekspor tekstil dan produk tekstil.
Hal itu disebabkan oleh tingginya biaya produksi lokal dan fasilitas dan kebijakan dagang yang berpihak pada impor dan kurangnya perencanaan jangka panjang yang berdampak pada minimnya investasi.
"Oleh sebab itu, sore hari ini akan kita bicarakan bersama-sama masalah-masalah ini karena itu pada ksmptan yg baik ini, saya minta masukan baik dari API maupun APSyFI mengenai apa yang bisa dikerjakan bersama-sama," tambah Presiden.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019