• Beranda
  • Berita
  • Revisi UU KPK dinilai ciptakan "check and balance" penegakan hukum

Revisi UU KPK dinilai ciptakan "check and balance" penegakan hukum

17 September 2019 14:18 WIB
Revisi UU KPK dinilai ciptakan "check and balance" penegakan hukum
Ruangan Rapat Oaripurna DPR RI. (Ist)
Pakar hukum dari Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul menilai, revisi UU tentang KPK yang telah disetujui Rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi UU diperlukan agar tercipta check and balances dalam penegakan hukum di Indonesia.

Chudry di Jakarta, Selasa, menjelaskan, di dalam sebuah negara hukum berdasarkan teori hukum, sebuah lembaga negara seharusnya tidak boleh ada yang diberikan kekuasaan penegakan hukum tidak terbatas.

KPK selama ini menjadi sebuah lembaga yang sangat istimewa dan melebihi kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum lain.

"Kita mau menata agar tidak ada lembaga yang kekuasaannya tak terbatas. Setiap lembaga yang kekuasaannya tidak terbatas tentu menimbulkan masalah dan biasanya akan terjadi penyalahgunaan dalam kewenangan," kata Chudry.

Baca juga: Rapat Paripurna DPR RI setujui revisi UU KPK
Baca juga: HMI-MPO nilai proses revisi UU KPK janggal


Begitu pula dalam teori bernegara, seharusnya juga tidak boleh ada lembaga yang kewenangannya tidak terbatas. Semua harus ada check and balances agar apa yang dilakukan sesuai dengan koridor yang sudah disepakati bersama.

Terkait fungsi penyadapan yang dimiliki KPK, kata dia, sebenarnya melanggar hak asasi manusia (HAM), tetapi karena ada suatu kejahatan maka hal tersebut terpaksa harus dilanggar.

"Dalam teori hukumnya boleh dilanggar tapi itu sangat terbatas dan sangat hati-hati karena ini pelanggaran HAM. Karena itu tidak boleh sembarang dipakai dan harus ada check and balances," tegas Chudry.

Namun demikian, belakangan ini terus terjadi pembentukan opini. Misalnya hak KPK menyadapnya dibatasi, tapi pengawasan dianggap pelemahan.

"Ini bukan pelemahan, hanya untuk check and balances dan jangan sampai disalahgunakan," katanya.

Masalah lain adalah adanya desakan agar presiden menarik atau membatalkan surat presiden (surpres) terkait revisi UU KPK. Secara teori, memang bisa membatalkan surpres, namun implikasinya akan jauh lebih besar.

"Secara teori bisa saja surpres dihentikan, tetapi itu akan menjadi masalah lagi. Kalau presiden tidak mengirim atau membatalkan surpres, nanti bisa saja UU yang diusulkan pemerintah tidak di-apa-apain oleh DPR," kata Chudry.

Baca juga: Fraksi PKS sampaikan catatan terkait dewas dan wewenang penyadapan
Baca juga: Selangkah lagi menuju nestapa KPK


Dia juga menyayangkan adanya komisioner KPK yang mengundurkan diri dan menyerahkan mandat ke Presiden Jokowi. Kondisi ini juga merupakan preseden buruk bagi KPK karena sudah disumpah mampu menjalankan amanat selama empat tahun.

Dengan adanya keputusan mundur dan menyerahkan mandat, Chudry pun menilai komisioner KPK sudah tidak negarawan. Di sisi lain, komisioner juga terkesan mencoba-coba masuk ke ranah politik sebagai imbas dari penolakan pimpinan terpilih.

Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR RI ke-9 Masa Persidangan I periode 2019-2020 menyetujui hasil revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk disahkan menjadi undang-undang.

"Apakah pembahasan tingkat dua pengambilan keputusan tentang Rancangan UU tentang Perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 dapat disetujui dan disahkan menjadi undang-undang," ujar Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin Rapat Paripurna DPR di Jakarta, Selasa.

Pertanyaan Fahri dijawab setuju oleh seluruh anggota DPR yang hadir. Berdasarkan laporan Fahri Hamzah terdapat 289 anggota DPR RI yang menandatangani daftar hadir dari total 560 anggota DPR.

Namun berdasarkan penghitungan manual, anggota dewan yang hadir di ruangan hingga pukul 12.18 WIB berjumlah 102 orang.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019