Pasalnya, bencana alam kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta kabut asap adalah "musibah terjadwal", yakni hanya terjadi pada musim kemarau.
Berbeda dengan bencana gempa akibat letusan gunung api dan tektonik tidak bisa diprediksi secara tepat meskipun di era kemajuan zaman serba canggih saat ini.
Jika menengok ke belakang, bencana kebakaran hutan diikuti bencana kabut asap di Indonesia berulang kali terjadi, salah satu terparah misalnya pada 1982, 1992, 1998, dan sejak 2000-an hampir rutin setiap tahun.
Penjelasan beberapa pengamat lingkungan, terjadi fenomena siklus kemarau panjang sehingga rawan terjadi karhutla bukan lagi 10-an atau lima tahunan tetapi nyaris setiap tahun.
Apakah siklus kian cepat tersebut dampak pemanasan global atau kian terbuka hutan, belum ada kajian tentang hal itu.
Tidak perlu jauh ke belakang, jika membuka data, Indonesia pada 2014 dan 2015 juga kerepotan mengatasi bencana karhutla.
Tepat September 2015, "bencana alam terjadwal" kabut asap menimbulkan dampak ekonomi merugikan lebih dari Rp20 triliun.
Saat itu, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan kerugian akibat kabut asap 2014 --tiga bulan dari Februari sampai April-- hanya dari Provinsi Riau Rp20 triliun.
Sedang 2015 kerugian lebih dari Rp20 triliun karena kejadian di beberapa provinsi, yakni Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Bagaimana dengan 2019, terlihat cakupan lebih luas karena untuk Kalimantan hampir semua provinsi "membara" meski ada provinsi yang terdeteksi puluhan hot spot (titik panas) tapi ada hanya beberapa hot spot.
Perhitungan ekonomi tersebut berdasar pada angka produk domestik regional bruto (PDRB) bulanan masing-masing provinsi.
Kemudian membandingkan jumlah regulernya dengan pemasukan provinsi pada bulan-bulan terjadi kabut asap.
Pembatalan penerbangan, termasuk pelayaran menjadi faktor utama yang menghantam roda perekonomian yang dirasakan langsung rakyat.
Belum kerugian lain, misalnya dampak bagi kesehatan, serta kerugian lingkungan akibat kerusakan ekosistem hutan Indonesia sebagai salah satu paru-paru dunia.
Bagi hutan sekunder, butuh 50 tahun memulihkan kondisinya akibat Karhutla, namun bagi hutan primer butuh 100 tahun serta belum tentu sama dengan kondisi awal.
Baca juga: Tim gabungan masih berjuang padamkan karhutla di Bulungan
Baca juga: 69 titik panas di Kaltara, 12 lokasi berpotensi terjadi kebakaran
Ketahanan Hutan
Pertengahan September 2019, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan ada 12 titik panas di Kalimantan Utara (Kaltara).
Titik panas terbanyak di Kalteng, Kalsel, Kalbar dan sebagian di Ibu Kota Negara (IKN) baru Kaltim masing-masing puluhan titik panas.
Pelaksana tugas Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) Agus Wibowo dalam rilis 16 Agustus 2019 menyebutkan bahwa Provinsi Kalimantan Tengah mempunyai titik api terbanyak.
Hal itu merujuk pada hasil analisis data titik api menggunakan situs fires.globalforestwatch.org
Data tersebut mencatat jumlah titik api seluruh Indonesia dari 1 Agustus sampai 14 September 2019 adalah 151.862 titik, terbanyak di Kalteng.
Pertanyaannya, mengapa provinsi lain di Kalimantan membara dan menimbulkan bencana kabut asap, maka jarak pandang di Kaltara lebih dari 3 Km (masih rekomendasi untuk keselamatan penerbangan).
Jawaban logisnya, hutan heart of Borneo
(Kalimantan bagian utara, Malaysia dan Brunei) masih lumayan bagus, tidak separah provinsi lain.
Hutan atau pepohonan yang lebat menyerap efektif polutan yang menyebabkan polusi udara.
Sebaliknya hutan yg sudah terbuka sudah tidak memiliki ketahanan terhadap ancaman kebakaran, akibat lantai hutan tidak lembab lagi.
Lantai hutan yang terbuka ibarat sekam menanti pemetik api saat kemarau.
Guna menjaga ketahanan hutan terhadap api maka moratorium izin sawit harus terus dilanjutkan dibarengi dengan program reboisasi (penghijauan), rehabilitasi (menanam kembali) dan reklamasi (menutup bekas galian tambang).
Baca juga: BMKG: Kabut asap di Kaltara mulai berkurang
Baca juga: Kaltara korban asap kiriman dari karhutla 4 provinsi di Kalimantan
Harus miliki peta jalan
Pengamat kehutanan yang juga Ketua Yayasan Pionir Bulungan Syamsu menyatakan bahwa pencegahan kebakaran hutan semestinya bisa dilakukan dengan memutus atau menghentikan tindakan pelaku pemicu terjadinya api dan mengurangi/membatasi tersedianya bahan bakar potensial.
Itu penting dilakukan, mengingat pemicu api karena tiga faktor, yakni tersedianya bahan bakar potensial, tersedianya oksigen, dan tersedia pemetik api.
Saran dia, agar stake holder (pemangku kepentingan), jangka pendek dalam mengantisipasi musibah, harus memiliki perencanaan mitigasi karhutla.
Pasalnya, perencanaan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menentukan kebijakan yang akan dilaksanakan.
Perencanaan juga dapat menjadi pedoman dalam setiap langkah kegiatan baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat.
Bukan berencana dan bertindak jika ada musibah. Terbukti alokasi dana, peralatan dan sumber daya manusia selalu jadi kendala setiap ada musibah.
Untuk jangka panjang, pemerintah harusnya memiliki peta jalan (roadmap) untuk mitigasi kebakaran hutan dan lahan yang dalam penyusunannya melibatkan semua pemangku kepentingan terutama pelibatan masyarakat, tokoh adat, kelompok perempuan, LSM, dan swasta.
Tujuannya, agar implementasi peta jalan yang disusun dapat dipahami dan dilaksanakan semua pihak.
Yayasan Pionir Bulungan, pernah berinisiasi melakukan kegiatan lokakarya penyusunan peta jalan yang salah satunya adalah mengenai mitigasi kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Bulungan 2018
Sayangnya, hal itu belum ditindaklanjuti untuk penyempurnaannya dan belum menjadi dokumen resmi.
Langkah-langkah yang harus segara diambil agar kebakaran tidak meluas di antaranya, meningkatkan komunikasi dan koordinasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan dari kecamatan hingga desa.
Kegiatan pengawasan melalui kegiatan patroli lapangan dan sosialisasi bahaya kebakaran hutan dan lahan kepada masyarakat dan pelaku usaha.
Kegiatan lain, membuat surat edaran pelarangan pembakaran lahan untuk tujuan tidak jelas atau pembakaran lahan untuk membersihkan lahan yang tidak terurus, memperbanyak papan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan menyiagakan masyarakat desa siaga api untuk pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Tidak cukup imbauan atau sosialisasi tentang larangan membakar lahan, namun lakukan penghentian tindakan pemicu api dengan penegakan hukum.
Terakhir, Pionir Bulungan menyarankan tentang pentingnya pendataan kepemilikan lahan.
Baca juga: Petani Kaltara bantah bakar lahan
Baca juga: Kabut asap hambat pelayaran di Sungai Kayan, Kalimantan Utara
Pihak diuntungkan
Tampaknya, saran tentang pendataan kepemilikan lahan cukup krusial meski hakikatnya semua data ada di meja kementerian terkait di Jakarta.
Faktanya, hampir semua kawasan hutan dan lahan sebenarnya sudah terpetakan peruntukannya hingga kepemilikannya.
Misalnya peta kawasan budi daya kehutanan (KBK) dan kawasan budi daya non kehutanan (KBNK).
Bahkan, peta kepemilikan lahan untuk perhutanan, perkebunan, pertambangan, industri, dan transmigrasi sudah lengkap di Jakarta.
Tinggal membuka peta satelit akan terlihat kawasan "milik siapa" yang terbakar.
Pemilik lahan harus ikut diminta pertanggungjawabannya bukan hanya menuding peladang.
Saat membicarakan bisnis terjadi tumpang tindih lahan dan saling klaim, namun saat bencana karhutla semua sembunyi dan menuding warga sebagai pembakar lahan.
Masalah penguasaan (kepemilikan) itu yang kadang menjadi persoalan, yakni menghambat pembangunan daerah, misalnya yang kini dirasakan Kabupaten Tana Tidung (KTT), salah satu daerah di Kaltara.
Hampir seluruh wilayahnya termasuk konsesi kehutanan (KBK) yang dikuasai Inhutani.
Pemkab KTT dan Pemprov Kaltara mengalami hambatan dalam membangun daerahnya.
Di peta, sebagian besar KTT masih dinyatakan kawasan kehutanan, termasuk di kawasan, tempat kantor-kantor milik Pemkab berdiri kini.
Pertanggungjawaban pemilik lahan penting, mengingat hakikatnya yang sangat berkepentingan membakar lahan adalah pengusaha bukanlah petani.
Faktanya sebagian petani yang ditemui di Desa Antutan dan Desa Pimping membantah bakar lahan, Sabtu (14/9).
Mereka terlihat membuka lahan dengan racun rumput, mandau atau mesin rumput.
Lahan-lahan yang mereka buka adalah bekas ladang yang mereka buka beberapa tahun sebelumnya, yakni tradisi bertanam "gilir balik" dengan dengan luas paling besar dua hektare.
Jadi dengan beberapa anggota keluarga mereka tidak perlu pembakaran untuk membersihkan dua hektar lahannya yang masih berupa semak itu.
Berbeda dengan lahan milik pengusaha perkebunan, mengingat di kawasan itu masih tersisa pohon-pohon, sehingga cara termurah dan termudah untuk land clearing adalah pembakaran.
Diperkirakan untuk membersihkan lahan (land clearing) milik perusahaan secara manual maka butuh Rp10 juta per hektare untuk sewa alat berat, gaji operator dan BBM.
Sedang dengan cara pembakaran, tinggal menggaji orang suruhan bermodal satu botol minyak tanah bisa membuka membersihkan puluhan hingga ratusan hektare lahan dengan cepat.
Jika, hukum tajam ke pengusaha --pemilik lahan terbakar-- maka setidaknya sudah menyentuh satu akar masalah dalam mengatasi bencana karhutla.*
Baca juga: BMKG Nunukan deteksi empat titik api di Kaltara
Pewarta: Iskandar Zulkarnaen
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019