Majelis Ulama Indonesia (MUI) berharap seluruh partai politik menolak Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) untuk disahkan menjadi undang-undang.
"Walaupun baru dua partai yang menolak Partai Keadilan Sejahtera dan PAN, mudah-mudahan 10 partai di DPR menolak," kata Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Didin Hafidhuddin seusai rapat pleno ke-43 Dewan Pertimbangan MUI, di Jakarta, Rabu.
Alasan penolakan tersebut, kata dia, karena RUU PKS dianggap belum dibahas lebih mendalam, sedangkan masa jabatan anggota DPR periode 2014—2019 akan berakhir beberapa minggu lagi.
Baca juga: Ratusan orang di Solo menggelar aksi dukung RUU-PKS
"PKS ini jelas tidak mungkin diteruskan, DPR yang sekarang ini 1 Oktober selesai, RUU PKS tidak mungkin dioper ke DPR yang akan datang karena bahannya juga memang belum siap," katanya.
Daripada UU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), Didin menilai Indonesia saat ini lebih membutuhkan Undang-Undang Pertahanan Keluarga.
UU Pertahanan Keluarga itu diperlukan karena persoalan sosial, termasuk kekerasan seksual, sebenarnya juga berawal dari permasalahan yang ada di dalam keluarga.
"Saya kira itu yang lebih bermanfaat bagi masyarakat Indonesia yang sekarang menghadapi berbagai macam masalah dengan keluarganya, seperti angka perceraian," katanya.
Baca juga: RUU PKS payung hukum cegah korban kekerasan seksual
Menurut dia, yang diperlukan bukan RUU PKS, melainkan pertahanan keluarga.
"Saya sangat setuju kalau RUU Pertahanan Keluarga daripada membahas masalah yang berkaitan dengan seksual saja seolah-olah itu yang mendominasi kehidupan kita," ujarnya.
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019