Ketua Gabungan Pengusaha Konstruksi Indonesia (Gapeksindo) Nusa Tenggara Barat Ir H Bambang Muntoyo mengeluhkan sulitnya aturan dalam sistem Layanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PBTSE) atau OSS (Online Single Submission).Bukannya memudahkan, sistem OSS yang pelaksanaannya diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 2018 justru membuat pengusaha sulit mengantungi izin. Bahkan untuk perpanjangan izin pun jadi sulit. Dengan sistem OSS ini seolah semua urus izin baru. Ini yang jadi k
"Bukannya memudahkan, sistem OSS yang pelaksanaannya diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 2018 justru membuat pengusaha sulit mengantungi izin. Bahkan untuk perpanjangan izin pun jadi sulit. Dengan sistem OSS ini seolah semua urus izin baru. Ini yang jadi kendala bagi kami," ungkapnya di Mataram, Rabu.
Ia mencontohkan untuk perpanjangan izin dan perubahan akta sistem OSS mengharuskan pengusaha menyertakan Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK), Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk kantor mereka.
Padahal, menurut Bambang, umumnya pengusaha konstruksi menyewa kantor dalam jangka waktu tertentu.
"Kontraktor kan (biasanya) menyewa kantor. Apalagi yang skala pengusaha menengah dan kecil. Nah OSS mewajibkan ada SLF sesuai IMB, dan juga harus ada Amdal. Ini menyulitkan, akhirnya banyak anggota (Gapeksindo NTB) yang sulit memperpanjang izin, belum lagi mengurus Nomor Induk Berusaha (NIB)," katanya.
Baca juga: Darmin pastikan komitmen pusat-daerah untuk kemudahan usaha
Bambang mengatakan, hal ini menjadi salah satu penyebab lesunya usaha konstruksi di NTB belakangan ini. Bahkan, berdasarkan data, jumlah anggota Gapeksindo NTB setiap tahun menurun. Sebelumnya tercatat sebanyak 815 anggota aktif pada 2017, kemudian menjadi 625 pada 2018, dan pada 2019 tercatat tinggal 255.
"Sektor usaha jasa konstruksi kita di NTB bisa dibilang terpuruk. Selain dampak gempa bumi tahun lalu, juga karena sistem OSS yang masih sulit. Jadi, pengusaha di sini jangankan menang tender, ikut (tender) saja susah, karena perpanjangan izin yang rumit," ucapnya.
Ia berharap pemerintah di NTB baik kabupaten dan kota bisa mempermudah pengurusan izin yang diperlukan untuk pengusaha konstruksi.
"Harusnya ada kebijakan. SIUP, SITU dan SIUJK misalnya, itu kan kebijakan pemda setempat, baik pemkab maupun pemkot," katanya.
Bambang Muntoyo menilai, jika kondisi ini terus berlanjut,akan membuka peluang semakin besar bagi perusahaan-perusahaan luar NTB untuk masuk. Sekaligus membuat Peraturan Gubernur NTB Nomor 20 Tahun 2019 tak bisa optimal terealisasi.
Padahal Pergub 20 Tahun 2019 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia Lingkup Pemerintah Provinsi NTB itu bertujuan untuk melindungi, memudahkan, dan memprioritaskan pengusaha lokal NTB.
Baca juga: Menteri PUPR: Sertifikasi konstruksi penting untuk daya saing global
"Dengan tender terbuka saat ini, jelas akan banyak pengusaha lokal kita yang tidak bisa ikut kompetisi karena kelengkapan perusahaan kurang. Ini membuka peluang perusahaan luar masuk," katanya.
Bambang Muntoyo menekankan, seharusnya Pergub 20 Tahun 2019 itu diimplementasikan maksimal dengan cara memprioritaskan pengusaha lokal NTB.
Dalam sebuah tender misalnya, perusahaan luar bisa dikesampingkan dulu dan memprioritaskan lokal.
Jika ternyata pengusaha lokal tidak ada yang memenuhi kriteria, baru silakan yang luar masuk.
"Ini baru proteksi, prioritaskan yang lokal dulu lah.Terus terang saya miris dengan kondisi kita saat ini, banyak anggota (Gapeksindo NTB) yang mengeluhkan ini," katanya.
Pewarta: Nur Imansyah
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019