Melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia semakin terlihat dengan menurunnya volume dan nilai perdagangan dunia.
Bank Indonesia memperkirakan modal asing akan semakin deras masuk ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia menyusul berlanjutnya perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang direspons dengan pelonggaran kebijakan moneter negara-negara maju.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko dalam pembukaan rangkaian diskusi di Kuta, Badung, Bali, Sabtu, mengatakan melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia semakin terlihat dengan menurunnya volume dan nilai perdagangan dunia.
Hal itu juga sebagai imbas perang dagang Amerika Serikat dan China yang tak kunjung usai.
Negara-negara besar di dunia merespons dengan pelonggaran kebijakan moneter agar mampu menahan perlambatan yang semakin dalam.
Bank Sentral Eropa pada 19 September 2019 lalu memangkas suku bunga penyimpanan dana perbankan (deposit facility/DF) sebesar 0,1 persen menjadi minus 0,5 persen agar dana banyak mengalir ke pasar.
Selain itu, seperti yang sudah menjadi konsensus pasar, Bank Sentral AS The Federal Reserve juga menurunkan suku bunga acuannya sebesar 0,25 persen ke 1,75 persen.
Baca juga: BI: Penurunan uang muka KPR lengkapi stimulus pertumbuhan ekonomi
Lalu Tiongkok juga melonggarkan kebijakan moneter dengan memangkas kewajiban bank untuk menempatkan dana cadangan (RRR) sehingga menambah likuiditas perbankan Negara Tembok Raksasa itu.
"Dunia terlihat dengan kebijakan suku bunga yang probabilitas menurun. Negara-negara 'emerging market' bisa kelimpahan modal asing," ujarnya.
Namun Onny mengingatkan likuiditas yang masuk ke negara-negara berkembang memiliki tingkat volatilitas yang tinggi. Artinya sewaktu-waktu aliran likuiditas itu juga dapat keluar tergantung tingkat imbal hasil yang ditawarkan dan juga iklim investasi di negara yang bersangkutan.
BI, ujarnya, akan menjaga agar imbal hasil aset keuangan domestik atau berdenominasi rupiah tetap menarik di tengah merebut limpahan likuiditas.
Bank Sentral mencatat aliran modal asing yang masuk hingga 19 September 2019 sebesar Rp189,9 triliun.
Kebijakan moneter negara-negara besar yang longgar itu tidak lepas dari melambatnya proyeksi pertumbuhan ekonomi di lima negara yang menjadi mesin penggerak perekonomian dunia seperti AS, Eropa, Jepang, China, dan India.
BI meramal pertumbuhan ekonomi dunia pada 2019 hanya sebesar 3,2 persen dan meningkat terbatas menjadi 3,3 persen pada 2020. Sementara itu pertumbuhan ekonomi AS meningkat menjadi 2,3 persen di 2019, kemudian melambat menjadi 2,0 persen di tahun depan.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi domestik diperkirakan BI bisa mencapai 5,1-5,2 persen dan di 2020 menjadi 5,3 persen.
Baca juga: BI: unjuk rasa berdampak negatif bagi investasi
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019