• Beranda
  • Berita
  • Menanti kepastian relokasi korban likuefaksi Petobo-Balaroa

Menanti kepastian relokasi korban likuefaksi Petobo-Balaroa

28 September 2019 13:33 WIB
Menanti kepastian relokasi korban likuefaksi Petobo-Balaroa
Pembangunan hunian tetap di Kelurahan Tondo untuk korban bencana gempa, tsunami disertai likuefaksi. (ANTARA/Muhammad Hajiji)
Gempa bumi disertai likuefaksi yang menimpa sebagian wilayah Kelurahan Petobo di Kecamatan Palu Selatan dan Kelurahan Balaroa di Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah, telah berlalu.

Kini warga yang terdampak tidak lagi beraktivitas di lokasi terdampak likuefaksi. Mereka seakan memiliki "kampung baru" di lokasi/shelter pengungsian.

Senyum, tawa dan canda disertai keceriaan mulai terlihat dari wajah para ibu, ayah dan anak yang ada di lokasi pengungsian yang masih dalam dua kelurahan itu.

Mereka tegar, perlahan-lahan mulai bangkit, berdiri di kaki sendiri meninggalkan peristiwa bencana yang memporak-porandakan bangunan gedung di wilayahnya.

Walaupun harus diakui, bahwa bencana yang terjadi memberikan dampak yang luar biasa bagi masyarakat berupa korban jiwa, kehilangan lapangan kerja, kehilangan tempat tinggal, kehilangan sanak saudara dan anggota keluarga, menjadi satu fakta sekaligus tantangan serius pemerintah dalam menanggulangi masyarakat setelah setahun bencana.

Bencana telah berlalu, langkah-langkah pemulihan harus dikedepankan termasuk menetapkan lokasi relokasi bagi korban bencana gempa, tsunami dan likuefaksi.

Ternyata, berlalunya bencana tidak dengan berlalunya masalah. Korban likuefaksi yang ada di Kelurahan Petobo dan Balaroa hingga kini belum mendapat kepastian daimana mereka akan direlokasi.

Baca juga: Pemerintah didesak tetapkan Petobo-Balaroa sebagai lokasi relokasi

Baca juga: Kata Wapres penentuan relokasi bagi korban bencana Palu ditentukan Januari 2019

 

WARGA PALU BERZIARAH DI LOKASI BEKAS LIKUEFAKSI




Tolak Relokasi

Korban bencana gempa disertai likuefaksi di Petobo dan Balaroa menolak keras jika di relokasi ke kelurahan lain. Penolakan itu memiliki dasar. Karena, tidak semua kawasan di dua kelurahan itu terdampak likuefaksi.

Hanya sebagian kecil lahan atau kawasan yang alami pergeseran tanah dari luas total lahan yang ada di dua kelurahan tersebut.

"Di Kelurahan Balaroa masih ada lahan milik pemerintah seluas 4,4 Hektare dan lahan milik warga seluas 35 Hektare," kata Ketua Forum Korban Likuifaksi Balaroa, Abdurahman M.Kasim.

Korban Likuefaksi Balaroa yang tergabung dalam Forum Korban Likuefaksi Balaroa meyakini bahwa wilayah di Kelurahan Balaroa masih sangat layak untuk dihuni, kecuali yang terkena likuefaksi.

Penolakan juga disampaikan oleh Lurah Kelurahan Petobo Alfin H Ladjuni. Dia menyebut warga Petobo menolak direlokasi ke kelurahan lain.
"Keinginan masyarakat, mereka tetap tinggal di Petobo," kata Lurah Petobo Alfin H Ladjuni.

Sekitar 1.642 kepala keluarga atau 3.800 jiwa korban terdampak gempa dan likuefaksi Kelurahan Petobo saat ini berada di lokasi pengungsian di Jalan Kebun Sari atau sebelah timur dari area likuefaksi.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Palu Presly Tampubolon mengatakan pemerintah telah menyebarkan formulir kesiapan relokasi kepada para korban. Data sementara yang mengembalikan formulir ke BPBD Kota Palu sekitar 4.000 jiwa, namun tidak semua menyatakan bersedia direlokasi.

Para korban yang bersedia direlokasi sesuai formulir sebanyak 2.990 jiwa. Relokasi ke hunian tetap di Tondo sebanyak 1.860 jiwa, sisanya memilih direlokasi ke Talise dan Duyu sekitar 250 jiwa sampai 300 jiwa.

Kami baru membuka validasi warga yang direlokasi ke Tondo, karena baru lokasi itu yang siap pembangunannya. Dari 1.860 jiwa yang bersedia, kurang lebih 1.400 jiwa datang melapor untuk penyesuaian administrasi bersifat final, kata Presly.

Pemindahan korban bencana ke tempat lebih layak, sebagai upaya pemerintah untuk memberikan jaminan kehidupan lebih baik. Selain itu, relokasi dimaksudkan menjaga keselamatan warga dari ancaman bencana, khususnya mereka yang saat ini masih tinggal di zona merah pada peta zona rawan bencana berdasarkan hasil kajian ilmiah.

Relokasi tahap awal disediakan sebanyak 200 hunian untuk menampung sekitar 1.800 jiwa korban bencana Palu di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore. Namun kata Presly, saat ini hunian tetap yang rampung terbangun sebanyak 20 unit dari 200 unit target Yayasan Buddha Zhu Chi.
Sudah rampung, namun belum memiliki air bersih dan belum tersambung listrik, ungkap Presly.

Baca juga: Mengembalikan roda kehidupan masyarakat Palu

Baca juga: Setahun Bencana Sulteng-Wali Kota Palu ziarah pemakaman masal bencana



Revisi SK Relokasi

Hanya berselang kurang lebih tiga bulan setelah gempa bumi disertai tsunami dan likuefaksi menerpa Kota Palu, Sigi dan Donggala. Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola pada bulan Desember 2018, mengeluarkan SK penetapan lokasi relokasi.

Longki menandatangani keputusan lokasi relokasi Nomor 369/516/DIS.BMPR-G.ST/2018 pada tanggal 28 Desember 2018 di Palu. Diktum I dalam keputusan itu berbunyi menetapkan lokasi tanah relokasi pemulihan akibat bencana di Provinsi Sulawesi Tengah untuk penyediaan hunian tetap, ruang terbuka hijau, sarana dan prasarana umum serta perkantoran.

Kemudian diktum II dalam keputusan itu berbunyi, lokasi tanah sebagaimana dimaksud dalam diktum satu sebagai berikut di Kota Palu seluas 560,93 hektare area meliputi Kecamatan Tatanga seluas 79,3 hektare area di Kelurahan Duyu, Kecamatan Mantikulore seluas 481,63 hektare area di Kelurahan Tondo dan Kelurahan Talise.

Selanjutnya, di Kabupaten Sigi seluas 362 hektare area terletak di Kecamatan Sigi Biromaru meliputi Desa Pombewe seluas 201,12 hektare area dan Desa Oloboju 160,88 hektare area.

Dalam SK tersebut, wilayah Kelurahan Petobo dan Balaroa yang tidak terdampak bencana likuefaksi dan gempa, tidak masuk sebagai lokasi relokasi.

Padahal, di lokasi yang saat ini di tempati korban, merupakan lokasi shelter pengungsian yang diakui oleh pemerintah. Terbukti pemerintah membangun beberapa hunian sementara di dua lokasi tersebut. Jangka waktu korban tinggal di lokasi pengungsian oleh pemerintah, selama dua tahun.

Karena tidak masuk dalam SK tersebut, maka Gubernur Sulteng didesak untuk merevisi bahkan mencabut SK yang telah dikeluarkannya.
"Perlu segera pencabutan SK penetapan lokasi relokasi tersebut karena warga Petobo dan Balaroa sebagai korban gempa dan likuefaksi menolak direlokasi ke Kelurahan Tondo dan Duyu," ucap Sekretaris Jenderal Pasigala Centre, M Khadafi Badjerey.

Khadafi mengatakan, warga Petobo meminta direlokasi di sebelah timur lokasi eks likuefaksi atau di Kebun Sari, agar dekat dengan permukiman serta tidak keluar dari kelurahan tersebut. Begitu pula dengan warga Kelurahan Balaroa. Mereka keberatan untuk direlokasi ke Kelurahan Duyu.

"Begitu pula warga pesisir pantai Teluk Palu di Kelurahan Tawaeli, yang merupakan korban terdampak langsung ganasnya tsunami 28 September 2018 lalu. Semestinya areal relokasi terintegrasi dengan kegiatan ekonomi warga," kata Khadafi.

Anggota DPRD Kota Palu, Muslimun mendesak Pemerintah Kota Palu dan Sulawesi Tengah untuk segera menetapkan lokasi pengungsian korban gempa dan likuefaksi di Kelurahan Petobo Kecamatan Palu Selatan dan Kelurahan Balaroa Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, sebagai lokasi relokasi.
 
"Penetapan lokasi relokasi baiknya memang perlu di evaluasi kembali, karena penetapan lokasi relokasi untuk pembangunan hunian tetap tidak pernah didudukkan bersama masyarakat," kata Anggota DPRD Kota Palu, Muslimun.

Muslimun menilai, karena tidak ada musyawarah dalam penetapan lokasi relokasi yang bersifat partisipatif melibatkan langsung korban dalam upaya pemulihan kembali Kota Palu pascsbencana, maka tidak heran bila ada penolakan.

"Iya, oleh korban, warga Petobo dan Balaroa, meminta hunian tetap tetap di areal wilayah kelurahan yang tidak jauh dari lokasi mereka menetap agar menjadi perhatian serius pemerintah," ujar Muslimun.

Ia menegaskan Pemerintah Kota Palu dan Pemprov Sulteng perlu meninjau kembali lokasi relokasi yang sebelumnya telah ditetapkan lewat Keputusan Gubernur pada tanggal 28 Desember 2018.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulteng, Bartolomeus Tandigala mengatakan lokasi relokasi dalam SK itu merupakan usulan pemerintah daerah setempat.

"Gubernur hanya meng-SK-kan kawasan-kawasan yang menjadi lokasi relokasi. Penetapan lokasi relokasi itu merupakan usulan Pemerintah Kota Palu," ujarnya.

Pemerintah berjanji akan menetapkan lokasi pengungsian bagian timur Petobo dan bagian barat Balaroa ditetapkan sebagai lokasi relokasi, jika hasil penelitian menyatakan lokasi tersebut aman dari bencana gempa dan likuefaksi.*

Baca juga: Setahun Bencana Sulteng-Lewat pameran foto bukti Sulteng bangkit

Baca juga: Setahun bencana Sulteng - Pemkot Palu bangun ketahanan ekonomi korban

 

Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019