• Beranda
  • Berita
  • Kesetaraan tanpa merendahkan laki-laki dalam film "Empu"

Kesetaraan tanpa merendahkan laki-laki dalam film "Empu"

30 September 2019 09:19 WIB
Kesetaraan tanpa merendahkan laki-laki dalam film "Empu"
Salah satu adegan dalam film "Empu" (ANTARA News/HO)
Diambil berdasarkan kisah nyata, film "Empu - Sugar on The Weaver’s Chair" berbicara tentang kekuatan seorang perempuan tanpa perlu menggeser posisi laki-laki dalam kehidupan sosial.

Ada tiga tokoh perempuan yang dibicarakan dalam film ini yakni Sutringah di Banyumas, Yati di Klaten, dan Maria di Kefamenanu, Nusa Tenggara Timur.

Sutringah (Annisa Hertami) harus menjadi penopang keluarga ketika suaminya, penderes nira kelapa, lumpuh setelah jatuh dari atas pohon kelapa. Pilihannya adalah bekerja untuk kelangsungan hidup atau menuruti kata suami.

Sedangkan Yati (Tiara Arianggi), seorang perempuan difabel, berjuang membuktikan kemampuan dirinya dalam bidang tenun lurik di tengah cibiran dan cemooh orang di sekelilingnya, termasuk dari ayahnya sendiri.

Sementara itu, Maria (Putry Moruk) yang bersama kumpulan janda lain bertekad melestarikan tenun Biboki melalui regenerasi penenun di tengah sengketa lahan rumah tenun tempat mereka berkreasi.

Ketiganya memiliki tantangan dalam kesetaraan, hak dan tradisi, dan ingin mengubahnya menjadi sebuah kekuatan bagi hidup mereka. Dengan cara yang sederhana tanpa harus merendahkan pihak lain, Sutringah, Yati dan Maria mampu menemukan jalan keluarnya.

Tiga kisah perempuan di atas memang sangat banyak terjadi di Indonesia khususnya di daerah. Cerita-cerita ini diambil berdasarkan temuan GEF SGP Indonesia bersama Terasmitra dalam perjalanannya mendampingi wirausaha sosial berbasis komunitas.

Annisa sebagai Sutringah mampu memerankan sosok perempuan Banyuwangi yang memiliki tekad kuat untuk menghidupi keluarganya meski apa yang dia kerjakan dianggap tabu oleh masyarakat setempat.

Begitu juga dengan Putry Moruk seperti menjelma menjadi seorang perempuan NTT tulen yang tengah memperjuangkan budaya sekaligus kelangsungan ekonominya.

Film ini memperlihatkan bahwa perempuan sebagai sosok yang lembut juga memiliki peranan penting meski dalam keseharian dianggap sepele. Bagaimana cara mereka menempatkan diri, berperilaku dan bertindak dalam menghadapi beragam situasi dijelaskan dengan sederhana dan tegas.

Saat menyaksikan film arahan sutradara Harvan Agustriansyah ini, mungkin akan mengira bahwa "Empu" adalah sebuah film dokumenter. Nyatanya ini adalah sebuah drama yang diambil dari kehidupan nyata para perempuan di tiga daerah Indonesia.

Harvan juga mampu mengemas film dengan durasi 60 menit ini tanpa membosankan, alur cerita dibuat saling bergantian antara Sutringah, Yati lalu Maria dan sebaliknya namun tidak menimbulkan kesan membingungkan.

Namun Anda tidak akan menemukan film "Empu" di bioskop komersial. GEF SGP, Terasmitra dan Impro Visual Storyteller selaku rumah produksi hanya akan memutar film tersebut di berbagai festival film.

Rencananya mereka juga akan berkeliling daerah dan memutarkannya secara gratis di bioskop tertentu.

Baca juga: Agni dan Annisa Hertami berbalut batik di karpet merah TIFF

Baca juga: Aktris Annisa Hertami luncurkan antologi puisi

Baca juga: Mattel rilis boneka "netral gender"

Pewarta: Maria Cicilia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2019