• Beranda
  • Berita
  • UU Pilkada terkait persentase dukungan digugat calon perseorangan

UU Pilkada terkait persentase dukungan digugat calon perseorangan

1 Oktober 2019 18:25 WIB
UU Pilkada terkait persentase dukungan digugat calon perseorangan
Calon perseorangan yang menjadi pemohon. (tangkap layar/Dyah)

Sedangkan untuk kepala daerah maju perseorangan semula tiga persen menjadi 6,5 persen, kenaikannya lebih dari 115 persen. Jika dikonversi dengan surat dukungan, maka calon perseorangan harus bekerja dua kali lebih dari yang sebelumnya

Calon kepala daerah jalur perseorangan menggugat aturan syarat pencalonan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) karena kenaikan persentase dukungan untuk perseorangan lebih besar dibandingkan jalur partai politik.

Muhammad Sholeh serta Ahmad Nadir diwakili kuasa hukumnya Singgih Tomi Gumilang dalam sidang pengujian di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa, menyampaikan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, ambang batas calon yang diusung partai politik sebesar 15 persen, sementara dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menjadi 20 persen.

"Sedangkan untuk kepala daerah maju perseorangan semula tiga persen menjadi 6,5 persen, kenaikannya lebih dari 115 persen. Jika dikonversi dengan surat dukungan, maka calon perseorangan harus bekerja dua kali lebih dari yang sebelumnya," tutur Singgih dalam sidang kedua setelah melakukan perbaikan itu.

Baca juga: Akademisi sarankan pemerintah revisi UU pemilihan kepala daerah

Sebelumnya, pihaknya menyebut seharusnya syarat jumlah dukungan untuk calon kepala daerah perseorangan tidak lebih berat daripada syarat untuk calon dari partai politik karena biaya pengusungan calon yang diajukan partai politik dibebankan kepada APBN, sedangkan calon perseorangan mengumpulkan sendiri.

Untuk itu, dalam petitumnya, dua calon kepala daerah di Jawa Timur itu memohon Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 40 Ayat 1,2,3; Pasal 41 Ayat 1 huruf a,b,c,d,e dan Ayat 2 huruf a,b,c,d,e serta Ayat 3 dan Ayat 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD 1945.

"Oleh karena itu harus dinyatakan tidak mempunyai hukum mengikat," ujar Singgih dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Manahan MP Sitompul itu.

Baca juga: Bawaslu merasa dilemahkan perannya dengan UU Pilkada

Hakim Manahan kemudian mempertanyakan ayat dalam Pasal yang dimohonkan untuk diputus bertentangan dengan UUD 1945 hanya 1,2 dan 3, sementara ayat 4 dan 5 mengatur hal yang dimaksud dalam ayat 1.

"Pasal 40 yang dimohon cuma ayat 1, 2, 3, padahal ayat 4 dan 5 mengatur apa yang dimaksud di dalam ayat 1. Hanya mengingatkan saja, sehingga kalau nanti ayat 1, 2, 3 diputus tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tinggal ayat 4 dan 5 yang kita tidak tahu kemana lagi, di awang-awang dia kan," tutur Manahan.

Kemudian ia meminta pemohon untuk memikirkan kembali permohonan tersebut.

Baca juga: UU Pilkada dinilai perlu dikaji kembali untuk eliminasi kasus korupsi

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019