"Harus saling memahami antara buruh dengan perusahaan. Aksi demo akan mengganggu karena otomatis produksi terhenti jika pekerjanya tidak aktif," ujar Head of the Department of Economics CSIS Yose Rizal Damuri ketika dihubungi di Jakarta, Kamis.
Selanjutnya, jika aksi demo buruh berkepanjangan bisa memicu hengkangnya investor asing dari Indonesia, karena iklim usaha yang kurang kondusif, ditambah lagi ekonomi dunia yang sedang lesu.
Menurut dia, aksi demonstrasi buruh juga dapat membuat pelaku usaha enggan ekspansi karena aturan yang kurang kompetitif dengan negara tetangga.
"Undang-undang tenaga kerja di Indonesia sering dianggap pelaku dunia usaha terlalu restriktif atau mengikat, tidak fleksibel. Di Asia Tenggara, peraturan tenaga kerja Indonesia menjadi yang tidak fleksibel," katanya.
Ia mengemukakan indikator fleksibel itu, di antaranya mencakup upah minimum hingga beban perusahaan mengenai pesangon.
Menurut dia, diterbitkannya PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan merupakan salah satu respon pemerintah kepada pelaku usaha agar industri tetap berjalan.
"Pemerintah mencoba untuk menjaga keseimbangan soal upah melalui PP nomor 78, namun itu yang kemudian ditolak oleh para buruh," katanya.
Terdapat tiga tuntutan yang dilayangkan buruh, yakni menolak revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, meminta revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.78 tahun 2015 tentang Pengupahan, serta menolak rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
"Pemerintah mau fokus di mana, apakah ingin membuka lapangan pekerjaan yang baru atau mau melindungi orang yang sudah bekerja, karena undang-undang yang restriktif yang menguntungkan pekerja sering sekali tidak kondusif untuk menciptakan lapangan pekerjaan," katanya.
Baca juga: Bubarkan diri, unjuk rasa buruh terkonsentrasi di Parkir Timur Senayan
Baca juga: Asosiasi pertekstilan sebut demo buruh tak pengaruhi produksi
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019