• Beranda
  • Berita
  • PLN kerja sama perguruan tinggi tingkatkan elektrifikasi Papua

PLN kerja sama perguruan tinggi tingkatkan elektrifikasi Papua

4 Oktober 2019 09:22 WIB
PLN kerja sama perguruan tinggi tingkatkan elektrifikasi Papua
Petugas PLN saat memperbaiki instalasi listrik yang terkena dampak kerusuhan di Jayawijaya. ANTARA/Marius Frisson Yewun/am.
PT Perusahaan Listrik Negara  menjalin kerja sama dengan lima perguruan tinggi untuk meningkatkan rasio elektrifikasi di Provinsi Papua dan Papua Barat melalui program 1.000 renewable energy for Papua.

"Kerja sama ini sebagai tindak lanjut dari rekomendasi Ekspedisi Papua Terang (EPT) di tahun 2018 untuk meningkatkan rasio elektrifikasi di Papua yang juga diikuti lima perguruan tinggi tersebut," kata Direktur Human Capital Management (HCM) PLN, Muhamad Ali di Jakarta, Jumat.

Ekspedisi Papua Terang ini diikuti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Cenderawasih, LAPAN, dan TNI AD.

Menurut Muhamad Ali, upaya melistriki “Bumi Cendrawasih” tersebut tidak mudah dilakukan, mengingat sampai bulan Juli 2019 rasio elektrifikasi Provinsi Papua adalah 48,5% dan Papua Barat 91,22%.

"Dengan demikian desa yang sudah dialiri listrik sebanyak 7.358 (sesuai Permendagri No. 137/2017). Ini artinya masih ada sekitar 1.724 desa yang belum tersentuh aliran listrik," ujar Muhamad Ali.
Baca juga: Percepat wujudkan Papua terang, PLN gandeng sejumlah lembaga

Peserta Ekspedisi Papua Terang 2018 dari Prodi Geografi Universitas Indonesia, Vita Khairunnisa mengaku penerimaan masyarakat setempat terhadap program elektrifikasi berbeda-beda ada yang memberikan dukungan tetapi ada juga yang menolak.

“Misalnya ada satu distrik yang menerima kedatangan mereka secara lebih terbuka, yaitu di daerah pantai. Mengapa demikian, sebab apabila dilihat dari karakternya, mereka termasuk dalam kelompok yang biasa menerima kedatangan warga dan tamu asing, sehingga mereka tidak menampakkan curiga," ujarnya.

Bedanya dengan kondisi di daerah pegunungan, dengan kontur geografis yang memang sudah sulit dilewati, ternyata juga berpengaruh terhadap sifat dan karakter penduduknya, yang juga tidak mudah menerima apakah informasi ataupun rencana dan niat baik dari anggota tim EPT untuk menerangi Papua.

Vita yang aktif di Mapala UI ini dapat memahami mengapa mereka bersikap demikian. Kenyataan menunjukkan dengan lokasi yang berada di daerah yang banyak terdapat areal pertambangan, maka sebagai penduduk yang berdomisili di sana, praktis mereka tidak mendapatkan manfaat yang setimpal dari potensi sumber daya alam yang ada.

"Itu sebabnya kerap sebagai penduduk setempat, mereka menaruh rasa curiga terhadap kedatangan orang asing,” paparnya.
Baca juga: Presiden ingin rasio elektrifikasi Papua 90 persen tahun 2019

Dari survei di lapangan, lanjut Vita, berbagai upaya perlu dilakukan, karena ada di satu distrik yang masuknya listrik, masih bisa dilakukan dengan sistem memperpanjang atau menarik kabel listrik, dan itu dipandang lebih efektif, ketimbang harus membangun pembangkit listrik, yang perawatannya belum tentu dipahami dengan baik.

"Apalagi kalau daerah tersebut, ternyata menolak masuknya energi terbarukan (renewable energy). Padahal, daerah tersebut juga masih berpotensi untuk pengembangan turbin angin," ujarnya.

Ada juga daerah atau distrik yang hanya mau menerima masuknya listrik dari PLN, karena mereka pernah menggunakan PLTS, tetapi pasokan listriknya tidak tetap, sehingga mudah mati lampu (tidak ada aliran listrik).

Hasil survei menurut Kepala Divisi Pengembangan Regional Maluku – Papua PT PLN (Persero) Eman Prijono Wasito Adi, ada empat alternatif EBT yang ditawarkan dalam EPT yakni Pembangkit Listrik Tenaga Pikohidro; Tabung Listrik (Talis); Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm); serta PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya).

Untuk Pikohidro menurut Vita, lebih cocok apabila diaplikasikan pada daerah yang memiliki perbedaan ketinggian karena mampu menghasilkan listrik sampai 5.000 watt.

Sementara PLTBm adalah pembangkit listrik skala kecil yang memanfaatkan potensi energi biomassa, seperti bambu, kayu, serat kelapa sawit dan bahan organik kering lainnya.

Pembakaran biomassa menghasilkan uap air bertekanan yang memutar turbin, kemudian menggerakkan generator untuk menghasilkan listrik. PLTBm yang dikembangkan oleh PLN Regional Maluku dan Papua berkapasitas 3 sampai 10 kW.
Baca juga: Kementerian ESDM: Eletrifikasi Papua capai 72,04 persen
Baca juga: Kementerian ESDM fokus elektrifikasi papua

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019