"Limbah makanan yang berada di tempat pembuangan akhir menghasilkan metana dalam jumlah yang sangat besar. Metana adalah gas rumah kaca yang lebih kuat daripada CO2, yang dapat memperburuk konsekuensi negatif pada pemanasan global, yaitu perubahan iklim," ungkap Hangga dalam acara diskusi tentang limbah sisa makanan yang diadakan Tanipanen di pusat kebudayaan @america di Jakarta Selatan pada Jumat.
Menurut Hangga, permasalahan pemborosan pangan perlu diketahui oleh masyarakat luas yang kebanyakan tidak mengetahui dampak langsung dan sisa makanan yang mereka konsumsi.
Baca juga: Komnas HAM: Perubahan iklim akan jadi masalah HAM di masa depan
Berdasarkan data dari Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) PBB tahun 2016-2017, warga Indonesia membuang sekitar 300 kg makanan setiap tahun. Angka itu menempatkan Indonesia di urutan kedua pembuang makanan terbesar di dunia setelah Arab Saudi, yang rata-rata warganya membuang 427 kg makanan per tahun.
Semua pembuangan makanan itu memiliki dampak samping tidak hanya kepada ekonomi tapi juga terhadap perubahan iklim yang sekarang tengah menjadi fokus banyak negara di dunia, karena pemborosan pangan ternyata ikut berperan dengan CO2 dan metana yang dapat mempercepat pemanasan suhu bumi.
Hal serupa juga dinyatakan oleh CEO dan Co-Founder Ranum Farm Azmi Basyarahil, menekankan semua dampak itu semakin menekan pentingnya peran konsumen dalam mengurangi pemborosan pangan.
Baca juga: Kemenkes katakan perubahan iklim pengaruhi kesehatan manusia
Menurut dia, masyarakat harus mulai membangun ekosistem pertanian yang lestari dan saling menguntungkan bagi konsumen dan petani, berkontribusi pada keberlanjutan sistem pangan.
"Fokus untuk terus mengkampanyekan cara baru kita dalam mengkonsumsi pangan. Kenali siapa penanamnya, ketahui kisah perjalanan pangan kita," tutur Azmi, tentang usaha yang bisa dimulai untuk mengurangi pemborosan pangan.
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019