Mari "menaklukkan" gempa

6 Oktober 2019 17:22 WIB
Mari "menaklukkan" gempa
Sejumlah bangunan rusak akibat gempa di Dusun Wainuru, Maluku Tengah, Maluku, Minggu (29/9/2019). ANTARA FOTO/Nurman Hadipratama/wpa.

Sangat ketat sekali pengawasannya. Ini menjadi jalan keluar mengurangi dampak bencana, karena jika tidak masyarakat selalu menjadi korban

Sehari sebelum gempa dengan magnitudo 6,5 mengguncang Ambon dan sekitarnya di Provinsi Maluku, Kamis (26/9), Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Daryono membagikan keterangan terkait dengan gempa di Kashmir.

Gempa di Kashmir, Pakistan dengan magnitudo 5,3 itu terjadi dua hari sebelum gempa Ambon atau Selasa (24/9).

BMKG menganalisis gempa tektonik tersebut terjadi di darat pada jarak tiga kilometer arah selatan Kota New Mirpur, Pakistan, dengan kedalaman 10 km. 

Dangkalnya hiposenter gempa telah memicu kerusakan yang cukup parah dalam skala intensitas VII-VIII Modified Mercalli Intensity(MMI). Tidak hanya rumah yang rusak parah, jalan-jalan pun terbelah oleh dasyatnya guncangan.

Kerusakan paling parah terjadi di daerah sekitar Kota New Mirpur, wilayah Kashmir yang dikelola Pakistan, berjarak 85 km sebelah tenggara Islamabad. Masyarakat yang bermukim di Peshawar, Rawalpindi, Lahore, Sialkot, Sargodha, Mansehra, Gujrat, Chintral, Malakand, Multan, Shangla, Bajaur, Swat, Sahiwal, dan Rahim Yar Khan dapat merasakan gempa tersebut. 

Korban jiwa mencapai 23 orang dan lebih dari 300 lainnya luka-luka.   

Baca juga: Indonesia hadapi 924 gempa sepanjang September 2019

Daryono mengatakan jika memperhatikan mekanisme sumber gempa berupa sesar naik (thrust fault), diduga sistem sesar Himalayan Frontal Thrust (HFZ), yang menjadi pembangkit gempa ternyata melintas di dekat Kota New Mirpur yang merupakan zona benturan antara mikro kontinen India dan Asia. Pakistan dan Kashmir terletak di zona itu sehingga wajar jika negara tersebut sangat rentan terhadap gempa bumi.

Berdasarkan catatan terakhir, gempa besar berkekuatan M 7,5 juga pernah mengguncang Pakistan dan Afghanistan pada 26 Oktober 2015, menewaskan lebih dari 400 orang dan merusak gedung-gedung serta jalan di daerah itu. 

Sedangkan gempa pada 8 Oktober 2005 berkekuatan M 7,6 menewaskan lebih dari 73.000 orang dan menyebabkan sekitar 3,5 juta orang kehilangan tempat tinggal, terutama di wilayah Azad Jammu dan Kashmir. 

                                                                                                 Banyak sesar 
Indonesia memiliki begitu banyak sesar dan belum semuanya terungkap oleh para peneliti maupun ahli. Perlu dicari tahu pula mana sesar yang masih aktif. 

Pada hari yang sama, saat Maluku diguncang gempa, BMKG mencatat wilayah Kendal pada pukul 14.06 WIB dan Temanggung pada pukul 22.14 WIB juga diguncang gempa tektonik dengan magnitudo 3,3, sedangka episenter berjarak 17 km barat data Kendal, Jawa Tengah pada kedalaman 13 km.

Daryono mengatakan jika ditinjau dari lokasi episenter dan kedalamannya tampak bahwa gempa itu jenis gempa kerak dangkal (shallow crustal earthquake) akibat aktivitas sesar aktif. 

Pembangkit gempa ini diduga kuat karena sistem Sesar Semarang pada ujung segmen paling barat di selatan Cepiring, karena titik pusat gempa berada dijalur sesar ini.

Dampak gempa yang digambarkan oleh peta tingkat guncangan (shakemap) BMKG dan laporan masyarakat menunjukkan bahwa guncangan dirasakan di Kendal, Cepiring, Kaliwungu, Mangkang, dan Kedu (Temanggung) dalam skala intensitas II MMI yang artinya getaran dirasakan oleh beberapa orang, sedangkan benda-benda ringan yang digantung bergoyang. 

Baca juga: Takut gempa susulan, warga Kaitetu bermalam di Masjid kuno Wapauwe

Meskipun gempa ini kekuatannya relatif kecil dan tidak terlalu berdampak, katanya, tetapi gempa Kendal ini menjadi bukti dan pengingat semua bahwa struktur Sesar Semarang atau sesar naik Semarang (Semarang Thrust) yang melintas di Kota Semarang ini masih aktif sehingga patut diwaspadai. 

Masyarakat Kota Kendal, Semarang, dan Ungaran juga perlu mengetahui sejarah gempa Semarang dan Ungaran yang pernah terjadi pada zaman Belanda, tepatnya pada 19 Februari 1856. Gempa ini cukup kuat mengguncang Semarang, Ungaran, dan sekitarnya.

Gempa Semarang, Ungaran, dan Ambarawa juga pernah terjadi pada 22 Oktober 1865 pukul 09.16 WIB. Selanjutnya, keesokan harinya, pada 23 Oktober 1865, pukul 02.45 WIB, guncangan gempa yang lebih kuat kembali terjadi diikuti oleh gemuruh.

Gempa yang terjadi di Maluku dengan magnitudo 6,8 yang kemudian dimutakhirkan oleh BMKG menjadi M 6,5, menurut Daryono,  belakangan disebut sebagai gempa Kairatu karena pembangkit gempa diduga kuat adalah struktur sesar yang melintas di wilayah Kecamatan Kairatu Selatan.

Dampak guncangan gempa utamanya mencapai skala intensitas V hingga VI MMI di Ambon, Haruku, dan Kairatu, serta menimbulkan puluhan korban jiwa, luka-luka, ratusan ribu mengungsi, dan ribuan rumah atau bangunan rusak.

Dalam peta tektonik Pulau Seram tampak struktur sesar ini berarah barat daya-timur laut dan memiliki pergerakan mendatar-mengiri (sinistral strike-slip). 

“Sayangnya struktur sesar yang melintas di Kairatu selatan ini belum memiliki nama, sehingga untuk memudahkan menyebutnya dapat kita namai Sesar Kairatu,” kata Daryono. 

Baca juga: Setahun bencana Sulteng - Akademisi luncurkan buku

Selain itu, hal menarik dari gempa Sesar Kairatu di Maluku tersebut diketahui ternyata sebelum terjadi gempa M 6,5 sudah terjadi sejumlah rentetan aktivitas gempa pembuka (foreshocks) berkekuatan kecil sejak sekitar sebulan sebelumnya. 

Peta seismisitas Maluku menunjukkan bahwa di sekitar episenter gempa tersebut terdapat klaster aktivitas gempa dengan magnitudo antara 1,5 hingga 3,5 sebanyak 30 kali sejak 28 Agustus 2019 hingga 25 September 2019. 

Oleh karena itu, gempa ini menjadi contoh nyata mengenai keberadaan Gempa Tipe 1 sesuai pernyataan Kiyoo Mogi (1963), ahli gempa Jepang, yaitu tipe gempa utama yang didahului oleh gempa pendahuluan atau pembuka (foreshocks) dan selanjutnya diikuti oleh serangkaian gempa susulan.

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Agus Wibowo mengatakan gempa dengan kekuatan M 6,5 pada 26 September lalu menyebabkan 37 orang meninggal dunia. Sebagian besar korban disebabkan tertimpa bangunan.

                                                                                              Mitigasi bencana
Mitigasi bencana merupakan hal yang masih perlu menjadi perhatian besar masyarakat Indonesia. Banyaknya jumlah korban jiwa karena terkena runtuhan bangunan saat gempa terjadi menjadi kenyataan bahwa mitigasi bencana tidak dijalankan dengan baik hingga kini. 

Daryono mengatakan California, Amerika Serikat sering diguncang gempa besar, begitu pula di wilayah Jepang. Namun, tidak menimbulkan korban jiwa. 

Daryono lantas membandingkan gempa Yogyakarta berkekuatan M 6,4 pada 2006 dengan gempa Suruga dengan kekuatan sama pada 2009 yang memiliki karakteristik wilayah yang sama, dengan jumlah populasi yang juga padat. Gempa di Yogyakarta menyebabkan 5.800 orang meninggal, sedangkan gempa di Suruga menewaskan satu orang. 

Daryono mengaku cukup sedih jika membandingkan dengan foto-foto gempa Yogyakarta pada 1863 yang menyebabkan sekitar 1.000 orang meninggal dunia dengan kejadian 2006 yang menewaskan lebih banyak lagi. Dari foto-foto tersebut terlihat rontokan bangunan sama, padahal kejadian berbeda 143 tahun. 

Sejak 1980-an, Jepang telah mewajibkan penduduknya membangun bangunan tahan gempa. Pembangunan rumah didatangi satu per satu oleh petugas dan dilihat apakah spesifikasinya sudah benar-benar bangunan tahan gempa.

Baca juga: Pokmas diminta berani laporkan aplikator rumah tahan gempa bermasalah

"Sangat ketat sekali pengawasannya. Ini menjadi jalan keluar mengurangi dampak bencana, karena jika tidak masyarakat selalu menjadi korban," ujar dia. 

Ia menegaskan tidak ada larangan membuat bangunan di wilayah rawan gempa, namun harus menggunakan bangunan tahan gempa. Selain itu, yang terpenting jangan membangun bangunan tepat di atas sesar. 

Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Bernardus Wisnu Widjaja mengatakan telah berbicara dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), membahas agar kredit perumahan yang dikucurkan perbankan harus mewajibkan pengembangan membuat perencanaan membangun rumah tahan gempa. 

“Untuk mengontrol perbankan kami bicara dengan OJK. Jika perbankan tidak sesuai maka dikasih disinsentif sehingga pembangunan bangunan tahan gempa ini menjadi  aturan umum. Inovasi seperti ini juga perlu diungkapkan media,” ujar dia. 

Selain itu, pemerintah daerah juga perlu aktif berperan serta melaksanakan pengawasan pembangunan bangunan tahan gempa. 

Hal itu, karena kewenangan pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ada di pemerintah daerah. 

Baca juga: JK marah ada pengusaha ingkar janji bantu rekonstruksi Lombok
Baca juga: BMKG catat 1.120 gempa susulan Ambon
Baca juga: Kabar bohong berdampak pengungsi gempa Ambon terus bertambah

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019