"Sebab, Presiden Jokowi sebelum muncul desakan massa, pernah menyatakan UU KPK yang baru sangat relevan untuk pembenahan pemberantasan sekaligus pencegahan korupsi," kata Fauzan dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Senin.
Menurut dia, sebelum Jokowi mengirimkan Surat Presiden (Supres), dalam satu konferensi pers yang bersangkutan dengan gagah dan meyakinkan menyatakan kesetujuannya terhadap beberapa materi dalam RUU KPK, antara lain misalnya mengenai keberadaan Dewan Pengawas.
"Ini memang perlu karena semua lembaga-lembaga negara, presiden, MA, DPR bekerja dalam prinsip check and balances saling mengawasi, hal ini dibutuhkan untuk meminimalisasi potensi penyalahgunaan kewenangan," ujarnya.
Fauzan melanjutkan, terhadap keberadaan SP3 juga perlu karena penegakan hukum harus menjamin prinsip-prinsip HAM dan kepastian hukum dengan batas waktu dua tahun. Kemudian juga yang terkait dengan status pegawai KPK dan lainnya.
"Pada saat menyampaikan poin-poin yang disetujui atau yang tidak disetujui atas RUU KPK, saya berpikir inilah sikap tegas presiden pilihan rakyat, yang dalam terminologi jawa dikenal dengan sabdo pandito ratu tan keno wola wali. Artinya perkataan raja atau penguasa menjadi dasar hukum yang wajib dipatuhi dan dilarang mencla-mencle kalau ingin dihormati," jelas Fauzan.
Namun demikian, penilaian Presiden Jokowi lantas berbalik 180 derajat ketika tanggal 26 September 2019 Presiden mengundang beberapa tokoh untuk mendiskusikan kondisi bangsa terkini, terutama terkait dengan maraknya aksi unjuk rasa mahasiswa di berbagai daerah yang menolak beberapa RUU termasuk UU KPK yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara presiden dengan DPR.
"(Pertemuan dengan para tokoh) berakhir dengan adanya tiga opsi pilihan terkait dengan UU KPK, yang konon tinggal menunggu penomoran dari Kementerian Hukum dan HAM, yakni melalui legislative review, judicial review dan mengeluarkan Perppu. Dan presiden memberikan keterangan akan mempertimbangkan dan mengkalkulasi kemungkinan diterbitkannya Perppu," papar Fauzan.
Di sisi lain dia berpandangan, adanya ketidaksetujuan atas materi muatan UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, sesuai tradisi ketatanegaraan pascaamendemen, yakni melalui mekanisme judicial review.
Menurut dia, hal itu perlu terus dikembangkan karena merupakan salah satu bentuk penghormatan atas kesepakatan kelembagaan yang telah dilakukan antara presiden dengan DPR dalam pembentukan UU.
Oleh karena itu, Fauzan mengharapkan kepada pihak-pihak yang tidak sepakat dengan UU KPK yang telah disahkan agar menempuh judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Hal itu untuk mendidik masyarakat agar menempuh jalur hukum yang konstitusional.
Baca juga: Anggota Fraksi PDIP: Pembatalan UU KPK harus lewat "judicial review"
"Alangkah tidak atau kurang elok sebuah kesepakatan bersama dengan mudah dianulir sendiri oleh salah satu pihak dalam hal ini presiden, dengan cara mengeluarkan Perppu," kata Fauzan.
Dia menambahkan, presiden memiliki hak untuk mengeluarkan Perppu atau tidak.
Baca juga: Bamsoet: Keputusan penerbitan Perppu KPK jadi domain presiden
"Itu adalah kewenangan presiden dan konstitusional. Tetapi saya hanya ingin presiden konsisten dengan yang telah disampaikan pada konpres yang pertama," kata guru besar Unsoed ke-57 itu.
Baca juga: Syamsuddin Haris: Pemakzulan karena Perppu KPK itu pembodohan publik
Baca juga: Presiden diminta tidak takut terhadap desakan penerbitan Perppu KPK
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019