Dinas Kesehatan Provinsi Riau mencatat periode Januari – Oktober 2019 penderita stunting di daerah itu mencapai 28.171 balita yang berada dalam kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis.Belum banyak masyarakat yang paham tentang stunting, oleh karena itu kita selalu gencar melakukan sosialisasi ke seluruh daerah, rutin mengukur dan pencatatan data balita-balita, sehingga bisa terlihat mana yang terindikasi stunting
“Dampaknya anak menjadi lebih pendek dari usianya, kekurangan gizi ini sudah terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal kehidupan setelah lahir, tetapi baru nampak setelah anak barusia 2 tahun,” kata Zulfayeni, staff gizi Dinkes Provinsi Riau di Pekanbaru, Selasa.
Baca juga: Ibu Negara sosialisasi konvergensi stunting di Cirebon
Menurut dia, balita yang lebih pendek dari biasanya memang terlihat normal dan masih bisa beraktivitas seperti biasanya, namun yang terjadi sebenarnya adalah adanya gangguan pertumbuhan dan dapat mengakibatkan kemampuan kognitif tidak berkembang maksimal.
Ia mengatakan, akibat perkembangan yang belum maksimal tersebut, ini akan berpengaruh terhadap produktifitas dan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa dan penghambat pembangunan manusia Indonesia, sehingga pencegahan dan penanggulangan stunting menjadi sangat penting.
Baca juga: Cegah kekerdilan, GAIN dorong perubahan perilaku pemberian makanan
“Pencegahan dan penanggulangan stunting dilakukan Dinkes Provinsi dalam bentuk pembinaan, pendampingan, dan monitoring evaluasi berjenjang dari provinsi ke kabupaten dan melanjutkan kunjungan ke Puskesmas yang untuk memantau kondisi lapangan di samping itu sosialisasi juga gencar dengan merangkul beberapa dinas terkait," katanya.
Setelah mengajak beberapa dinas terkait, sosialisasi ini dilanjutkan ke Puskesmas, kemudian Puskesmas akan menyosialisasikan kepada masyarakat untuk mendorong kesadaran untuk menekan penyebab stunting.
Baca juga: 105 kepala daerah berkomitmen turunkan prevalensi stunting
“Belum banyak masyarakat yang paham tentang stunting, oleh karena itu kita selalu gencar melakukan sosialisasi ke seluruh daerah, rutin mengukur dan pencatatan data balita-balita, sehingga bisa terlihat mana yang terindikasi stunting,” jelas Zulfayeni.
Pencatatan data akan diinput ke dalam aplikasi Elektronik Pencatatan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (ePPGBM) dan aplikasi ini akan menampilkan data yang lengkap mulai dari jumlah balita yang diukur, jumlah balita yang terkena stunting, hingga data diri lengkap balita tersebut.
Meskipun sudah didukung dengan aplikasi ini, katanya, masih terdapat sejumlah hambatan seperti koneksi internet yang belum mampu menjangkau daerah tersebut, kurangnya tenaga pelaksana input data, geografis wilayah kerja, Nomor Induk Keluarga (NIK) yang belum lengkap sedangkan hingga 8 Oktober 2019, jumlah balita yang diinput sebanyak 193.688 jiwa, dengan persentase penderita stunting 17,83 persen.
“Kita berharap ini menjadi tugas kita bersama, tidak hanya tugas dinas kesehatan saja, namun perlu juga kesadaran dari seluruh masyarakat, khususnya keluarga untuk paham dan sadar sehingga bisa mengurangi penderita stunting di Indonesia,” kata Achmad Jajuli, Subbagian Perencanaan Program Dinkes Provinsi Riau.
Pewarta: Frislidia
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2019