Konsultan properti Colliers International menyatakan tingkat apartemen di wilayah Jakarta diperkirakan bakal terdampak kondisi perekonomian global seperti perang dagang yang akan menghambat investasi.Ke depannya, tingkat serapan apartemen akan mengalami sedikit penurunan
"Ke depannya, tingkat serapan apartemen akan mengalami sedikit penurunan atau dua persen ke level 85-86 persen sampai tahun 2023 akibat dampak dari tekanan perang dagang dan ketidakpastian ekonomi global," kata Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia Ferry Salanto di Jakarta, Rabu.
Ferry mengungkapkan berdasarkan hasil riset Colliers, harga rata-rata apartemen di Jakarta mencapai Rp34,6 juta per meter persegi atau mengalami kenaikan tipis 1,4 persen dari kuartal sebelumnya
Selain itu, ujar dia, saat ini para pengembang dinilai semakin kreatif dalam menggaet calon pembeli antara lain dengan menawarkan berbagai cara bayar dan manfaat yang kompetitif.
"Apartemen adalah salah satu sektor yang masih cukup berjuang mencapai kondisi yang ideal, terutama dilihat dari tingkat serapan unit per tahun, dengan lesunya penjualan apartemen, pengembang juga mengurangi produk-produk yang mereka luncurkan," paparnya.
Menurut dia, ada kecenderungan para pengembang pada saat ini fokus menjual produk yang belum terjual dengan baik sebelumnya.
Masih berdasarkan data Colliers, diperkirakan bahwa untuk apartemen di Jakarta pada kuartal III-2019, terdapat tambahan pasokan sejumlah 3.255 unit atau naik 65 persen dibandingkan dengan kuartal sebelumnya (1.972 unit).
Total stok apartemen disebut mencapai 209.286 unit atau naik 1,7 persen q-o-q dan naik 7,3 persen y-o-y, dengan tingkat serapan apartemen strata yang diperkirakan akan stagnan di level 87 persen pada akhir 2019 ini.
Baca juga: Pengembang optimistis penjualan apartemen di Jaksel masih tinggi
Baca juga: Pengembang bilang beli hunian apartemen tidak perlu mahal
Sebelumnya, Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN) Maryono mengatakan budaya masyarakat yang lebih memilih menyewa hunian apartemen daripada membeli rumah tapak telah memicu kredit pemilikan rumah (KPR) tumbuh melambat.
"KPR nonsubsidi meningkat kecil masih di bawah 10 persen. Kenapa? Banyak masyarakat terkhusus milenial lebih mementingkan kehidupan sesaat, mereka cari penyewaan apartemen," kata Maryono.
Dia membandingkan kondisi generasi sebelumnya yang justru lebih mementingkan kepemilikan hunian sebagai aset properti yang membuat kredit tumbuh cepat.
Selain perubahan budaya investasi properti tersebut, kondisi inflasi dan valuta asing yang meningkat membuat permintaan perumahan atau backlog masih tinggi mencapai angka 11 juta.
"Backlog masih tinggi 11 juta karena faktor inflasi dan valuta asing yang meningkat," ucap Maryono sambil mengutarakan harapannya agar pemerintahan baru nantinya dapat menyelesaikan permasalahan backlog secara menyeluruh.
Selama semester I 2019, Bank BTN mencatat penyaluran kredit senilai Rp251,04 triliun atau naik 18,78 persen ketimbang periode yang sama tahun lalu sebesar Rp211,35 triliun.
Kinerja penyaluran kredit mendorong naik posisi aset perseroan menjadi Rp312,47 triliun atau tumbuh 16,58 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai Rp268,04 triliun.
Baca juga: Penurunan Repo Rate gairahkan industri properti nasional
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019