"Untuk perizinan fintech lending akan terus kami dorong, tapi tidak akan pernah menurunkan kualitas proses perizinan karena yang diinginkan OJK adalah inklusi keuangan Indonesia yang sehat," ujar Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi di Jakarta, Kamis.
Hendrikus menambahkan ada juga inklusi keuangan yang sakit, ketika fintech lending memberikan pinjaman tapi tidak pernah mau peduli pada bisnis nasabah peminjamnya.
Ketika tagihan pinjaman tersebut jatuh tempo dan nasabah peminjam tidak bisa melunasinya maka timbul perbuatan-perbuatan yang kurang menyenangkan dari fintech lending pemberi pinjaman. Hal seperti inilah yang dilakukan oleh fintech lending ilegal, dan fintech ilegal sebetulnya juga mendukung inklusi keuangan tapi inklusi keuangan yang sakit.
Karena fintech lending di ujung perjalanannya akan melibatkan dana publik, kalau dana tersebut masuk ke fintech lending dan OJK serampangan dalam memberikan izin maka bisa terjadi peristiwa penutupan fintech lending seperti China akibat kurangnya pengawasan atau dana publik dibawa kabur oleh oknum tak bertanggung jawab, atau bahkan nasabah peminjamnya nakal sehingga menimbulkan kredit macet.
Baca juga: OJK: Bunga pinjaman online tidak lebih dari 0,8 persen
OJK tidak pernah berharap fintech lending hanya sekedar menyediakan pinjaman dana, kami ingin model pendanaannya wajib dalam bentuk value chain financing, dari hulu hingga hilir.
Dia mencontohkan pendanaan bagi petani jagung, OJK tidak hanya mendorong fintech lending untuk memberikan dana kepada mereka namun juga harus membantu memasarkan, mencari tahu harga yang layak, bagaimana pengirimannya ke pabrik bahkan bagaimana membiayai invoice financing serta asuransinya.
Ketika fintech lending ini mengajukan izin, OJK mesyaratkan kepada mereka untuk menunjukkan bahwa mereka sudah bisa bekerja sama dengan perbankan, lembaga pemeringkat atau scoring, asuransi atau lembaga penjaminan, hingga lembaga collection atau penagihan.
Dan yang terpenting lagi OJK mewajibkan fintech-fintech lending itu untuk terhubung dengan pusat data fintech lending (pusdafil) sehingga kualitas kredit yang diberikan benar-benar berkualitas.
Baca juga: Masyarakat perlu cermati legalitas perusahaan pemberi pinjaman daring
"Kalau ini tidak dipenuhi maka jangan pernah bermimpi OJK bisa mengeluarkan izin bagi fintech lending tersebut, " katanya.
Selain itu, tambahnya, ketika fintech lending berhubungan atau berkoordinasi dengan lembaga-lembaga seperti bank,inan hingga penagihan maka semuanya harus dilakukan melalui teknologi, online atau seamless, tidak boleh secara manual karena hal itu merupakan esensi dari financial technology atau fintech.
Inilah yang sebenarnya membuat perizinan bagi fintech lending sedikit lebih berat dibandingkan industri keuangan konvensional, karena dalam fintech selain harus memperhatikan kualitas model bisnis keuangannya OJK juga harus secara hati-hati melihat mitigasi risiko dari teknologi informasi yang digunakannya.
Sebelumnya Sebanyak enam penyelenggara fintech peer to peer (P2P) lending anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memperoleh izin usaha dari OJK pada Rabu (10/10).
Keenam anggota AFPI yang baru saja mendapatkan lisensi adalah Modalku, KTA Kilat (Pendanaan), Kredit Pintar, Maucash, Finmas dan KlikACC. Izin usaha yang didapatkan oleh anggota AFPI tersebut berdasarkan Surat Keputusan OJK pada 30 September 2019 dengan surat keputusan OJK (KEP) mulai dari nomor 81 - 85 dan 87/D.05/2019.
Dengan demikian hingga saat ini dari 127 penyelenggara Fintech P2P Lending, yang mendapatkan status izin menjadi 13 penyelenggara dari sebelumnya 7 perusahaan yakni: Danamas, Investree, Amartha, Dompet Kilat, KIMO, Toko Modal, dan Uang Teman.
Baca juga: AFPI perkirakan pertumbuhan pinjaman online Rp44 triliun pada 2019
Baca juga: OJK tetap batasi akses data digital pribadi bagi pinjaman online
Pewarta: Aji Cakti
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019