Ia lahir di Payakumbuh, 18 Januari 1980 dan terpaksa menggunakan kursi roda dalam kesehariannya akibat kecelakaan yang menimpanya pada 2001, namun baginya memiliki keterbatasan bukan berarti harus membatasi diri untuk berkarya.
Sebelumnya Silvia lulusan Diploma di salah satu perguruan tinggi swasta di Padang, kemudian sempat bekerja di salah satu perusahaan swasta di Pulau Karam, Padang.
Akan tetapi Allah menentukan jalan lain dalam hidupnya. Pada 2001 ia mengalami kecelakaan di Bukittinggi karena pecah ban. Waktu itu ia pulang menjenguk neneknya yang tengah sakit di Payakumbuh.
Semenjak kecelakaan, ia harus menjalani operasi sebanyak empat kali dan dokter memvonisnya lumpuh total karena saraf pinggang sudah tidak berfungsi lagi disebabkan sewaktu kecelakaan terhimpit pintu mobil.
"Saya syok dan sempat terpikir ingin bunuh diri saat dokter memvonis lumpuh total, namun amak selalu menguatkan saya," ujar dia.
Semenjak kecelakaan ia hanya terbaring lemah tak berdaya di rumahnya, bahkan untuk makan saja harus dibantu ibunya.
"Saat itu saya mulai merasa tak berguna, karena sudah empat tahun lamanya saya hanya terbaring di rumah, saya hanya menyusahkan amak, Sehingga niat untuk bunuh diri kumat lagi, namun amak terus menguatkan saya. Bahkan saat beliau tidak di rumah saya selalu dengarkan rekaman ceramah dan ayat-ayat Al Quran, semenjak itu saya mulai kuat lagi," kata dia.
Selain itu, ia juga mengatakan biaya pengobatannya sewaktu kecelakaan hingga proses penyembuhan dibantu oleh lembaga Unit Pengumpul Zakat (UPZ) semen Padang, karena ibunya tidak mampu membiayai operasinya yang mahal.
"Saya berterima kasih pada UPZ karena hingga saat ini selalu memberikan bantuan, bahkan waktu itu ditawarkan bantuan untuk modal usaha dan kemarin juga mendapat bantuan untuk memodifikasi motor supaya bisa mengendarai motor sendiri," kata dia.
Ia mendapatkan bantuan dari UPZ untuk memodifikasi motor Rp5 juta, sedangkan biaya untuk memodifikasi motor Rp6 juta, akhirnya ia juga mendapatkan bantuan dari komunitas buka lapak Rp1 juta.
Selain itu, ia mulai percaya diri semenjak bergabung di komunitas Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) dan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) di Padang, ia merasa tidak sendiri dan menemukan banyak teman-teman yang berkebutuhan khusus sepertinya.
"Dulu saya sering kontrol ke rumah sakit karena dekubitus atau ada luka tekanan akibat terlalu lama terbaring di tempat tidur, waktu itu saya melihat seorang perawat di salah satu rumah sakit umum daerah (RSUD) Padang di selang waktunya tengah belajar merajut, semenjak itulah saya mulai tertarik belajar karena sepertinya merajut lumayan mudah dipelajari," jelasnya.
Kemudian ia mulai menjadikan rajutan sebagai usaha sejak 2015 mencoba bergabung di usaha kecil menengah (UKM) Padang, awalnya ia mendaftar ke kantor kelurahan tempat tinggalnya untuk diajukan ke Dinas Pariwisata.
"Waktu itu sempat tidak percaya diri karena kelompok usaha yang diajukan punya produk unggulan masing-masing, bahkan ada beberapa UKM yang sudah menjalankan usahanya, sementara saya hanya bidang rajutan, itupun masih baru belajar," ujar dia.
Akan tetapi beberapa teman UKM lainnya selalu menyemangati Silfia supaya tetap percaya diri dan terus belajar mendalami usaha rajutannya.
Semenjak itu ia terus belajar mengikuti berbagai kelas rajutan, bahkan belajar secara daring dengan salah seorang perajut terkenal dari Bogor melalui grup di media sosial.
"Dulu saya pernah juga mendapat penolakan di beberapa tempat saat mendaftar pelatihan merajut, karena mereka mengira saya tak mampu mengikuti kelas itu atas keterbatasan yang saya miliki," ujarnya.
Penolakan tersebut dijadikan sebagai motivasi baginya untuk menunjukkan ke semua orang keterbatasan bukanlah sebagai penghalang untuk berkarya.
Biaya pelatihan yang diikuti berasal dari uang hasil penjualan rajutannya.
Hingga sekarang ia sudah bisa menerima semua jenis produk rajutan sesuai permintaan konsumen berupa tas, sepatu, jilbab, aksesori dan beberapa jenis produk lainnya.
Beberapa produk rajutan miliknya sudah terjual ke luar kota dan luar negeri seperti ke Finlandia, Australia, dan Selandia Baru (New Zealand) secara daring dipesan beberapa kenalannya yang merantau ke luar negeri.
Penjulannya beragam seperti jilbab rajutan dijual Rp250 ribu, tas rajutan mulai dari Rp60 ribu hingga Rp500 ribu, peci rajut Rp45 ribu, dompet kecil Rp45 ribu, sepatu Rp250 ribu hingga Rp1 juta karena menggunakan kombinasi kulit.
"Selain itu, saya juga bisa membuat baju rajut Rp250 ribu hingga Rp400 ribu yang waktu itu merupakan pesanan dari Selandia Baru," sambung dia.
Ia mengakui perjuangannya saat merajut dilakukan dengan cara menelungkup di atas kasur karena tidak tahan duduk lama. Selandia Baru
"Lagian konsumen tidak menanyakan proses pembuatannya, namun hasilnya," sambung dia.
Selain membuka usaha rajutan, ia juga sering mengisi pelatihan rajutan di beberapa daerah, salah satunya di Solok, Sumatera Barat.
Menurutnya keberhasilan yang diraih saat ini tidak terlepas dari bantuan orang-orang yang luar biasa dalam hidupnya, salah satunya ialah sosok perempuan tangguh yang selalu setia mendampinginya tanpa mendambakan sebuah imbalan yaitu amak Suriati (62).
"Amak ialah sosok perpempuan yang berjasa dalam hidup saya karena telah memotivasi saya terus bangkit dan berjuang," sambung dia.
"Saya hanya berpesan pada teman-teman disabilitas, yakinlah kita tidak pernah sendiri di antara banyak orang yang membenci, namun masih banyak orang yang tetap peduli," kata dia.
Baca juga: Rajutan napi perempuan Malang dipamerkan di pusat perbelanjaan
Baca juga: Gamis berpayet dengan rajutan jadi pilihan
Baca juga: Hongkong serap terbanyak barang rajutan dari Bali
Pewarta: Laila Syafarud
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019