Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menginginkan agar pemerintah dapat segera menghentikan reklamasi yang dilakukan di Teluk Benoa, karena aktivitas revitalisasi tidak dapat disamakan dengan reklamasi.Sejak awal, Perpres ini terlihat sangat tidak berpihak terhadap keberlanjutan lingkungan sekaligus masyarakat Bali, khususnya, serta masyarakat Indonesia umumnya
Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati di Jakarta, Senin, menginginkan agar Perpres No. 51 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan dapat dicabut.
Hal itu, ujar dia, karena di dalam Perpres No. 51 Tahun 2014, khususnya Pasal 101A, disebutkan bahwa upaya revitalisasi dapat dilakukan termasuk dengan melakukan reklamasi paling luas 700 hektare di seluruh kawasan Teluk Benoa.
"Sejak awal, Perpres ini terlihat sangat tidak berpihak terhadap keberlanjutan lingkungan sekaligus masyarakat Bali, khususnya, serta masyarakat Indonesia umumnya," kata Susan Herawati.
Sejak awal, lanjutnya, Perpres tersebut dinilai menyamakan revitalisasi dengan reklamasi, padahal dua hal tersebut dinilai sebagai konsep yang penerapannya sangat berbeda sama sekali.
Menurut Susan, penghentian proyek reklamasi Teluk Benoa tidak cukup hanya dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan yang menetapkan kawasan Teluk Benoa sebagai area Konservasi Kawasan Maritim (KKM).
Baca juga: LSM ingin Presiden koreksi kebijakan yang tidak perhatikan kebencanaan
Sekjen Kiara berpendapat bahwa Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan itu tidak cukup legal-konstitusional untuk menghentikan proyek reklamasi Teluk Benoa.
Dalam konteks ini, ujar dia, Presiden memiliki otoritas sekaligus mandat konstitusional untuk mencabut Perpres dalam rangka mengoreksi paradigma pembangunan yang tidak memiliki kepedulian terhadap masa depan ekosistem Teluk Benoa sekaligus masyarakat Provinsi Bali yang memiliki ikatan kuat dengan lautnya.
"Tidak ada alasan yang menghalangi Presiden untuk mencabut Perpres No. 51 Tahun 2014 yang pernah ditandatangani oleh Presiden sebelumnya," ucap Susan Herawati.
Di dalam upaya memberikan perlindungan bagi keberlanjutan lingkungan hidup dan sekaligus masyarakat, lanjutnya, Presiden sangat dimungkinkan untuk melakukan perubahan aturan.
Ia memaparkan bahwa dalam kaidah hukum ada yang disebut "in dubio pro natura", artinya seorang kepala negara atau siapapun penyelenggara negara, jika memiliki keraguan untuk memutuskan sesuatu, maka perlindungan keberlangsungan lingkungan hidup sekaligus perlindungan masyarakat wajib didahulukan supaya menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan.
Tak hanya itu, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010 memberikan mandat penting kepada pemerintah untuk menjamin empat hak masyarakat pesisir, yaitu: pertama, hak untuk melintas dan mengakses laut; kedua, hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat; ketiga, hak untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya pesisir dan laut; dan keempat, hak untuk mempraktikkan adat istiadat atau kearifan tradisional dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut.
“Dengan berbagai pertimbangan ini, Presiden harus menghentikan proyek reklamasi Teluk Benoa dan segera mencabut Perpres No. 51 Tahun 2014," ucapnya.
Baca juga: Gubernur Bali menyurati Presiden Jokowi terkait reklamasi Teluk Benoa
Baca juga: DPRD Bali tolak reklamasi Teluk Benoa
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019