Mengawali pemaparannya dengan "lesehan" (duduk di tikar secara bersama), Markuat berkisah tentang upaya desa --yang lebih populer disebut kampung-- itu meminimalisasi terjadinya karhutla, di mana sebelumnya Kabupaten Siak dan juga Provinsi Riau pernah mengalami bencana karhutla besar pada 2015.
Kala itu, Kampung Temusai yang berdiri pada 6 Januari 2010 dengan luas 2.300 hektare (ha), yang sepertiga areanya adalah lahan gambut juga terimbas karhutla.
Sebanyak 85 persen warga di kampung itu adalah pekebun sawit.
Seiring dengan lahirnya Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 22/2018 mengenai Inisiatif Siak Hijau, menurut Markuat, pihaknya bersama unsur terkait --termasuk dengan bantuan dari Perkumpulan Teras Riau, sebagai mitra Temusai Hijau-- kemudian menjabarkan turunan perbup itu dalam bentuk peraturan kampung (perkam).
"Kami memiliki Program 'Temusai Kampung Hijau' sebagai turunan Perbup 22/2018 itu," katanya.
Yang juga membuat dirinya bangga, ada masyarakat yang secara swadaya membeli lahan seluas 1,5 ha yang disiapkan untuk ditanami tanaman hutan.
"Kami juga bangga karena masyarakat kampung ini sudah berkomitmen tidak akan membakar dalam mengolah lahan dan kebunnya," katanya.
Baca juga: Cerita jeruk lemon dan teh bunga telang di gambut Siak
Baca juga: KLHK targetkan restorasi gambut 2 juta ha 2030 sukses 90 persen
Membangun secara berkelanjutan
Kampung Hijau di Desa Temusai, secara prinsip adalah kampung yang memiliki inisiatif membangun secara berkelanjutan dengan memerhatikan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya.
Ada empat tujuan kampung hijau, yakni pertama: pengelolaan sumber daya alam (SDA) bagi kepentingan masyarakat dengan prinsip kelestarian dan keberlanjutan.
Kedua, meningkatkan perekonomian masyarakat. Ketiga, terwujudkan Kabupaten Hijau (Perbup 22/2018) ke dalam pembangunan sumber daya di tingkat kampung. Keempat, meminimalisasi kebakaran dan pengurangan emisi karbon berbasis kampung.
Sasarannya, adanya kebijakan kampung terkait pembangunan Kampung Hijau, pengelolaan dengan praktik terbaik terhadap pemanfaatan pekarangan rumah tangga, pencegahan karhutla, pengembangan ekowisata dan kegiatan-kegiatan yang sejalan dengan pembangunan Kampung Hijau.
Kemudian, inisiatif pengembangan produk unggulan desa, ekonomi kreatif berbasis kampung, dan pemanfaatan lahan terlantar.
Namun, diakui masih ada sejumlah tantangan dalam mewujudkan Kampung Hhijau, yakni ketergantungan Kampung Temusai terhadap sawit, tingginya potensi karhutla, kesadaran masyarakat terhadap plastik yang kurang, alokasi pendanaan yang terbatas, lemahnya sumber daya manusia (SDM) terhadap implemetasi inovasi dan ide-ide kreatif baru.
Di samping itu, juga ketergantungan pada bantuan pendanaan dan tidak ada strategi keberlanjutan usaha di tingkat kelompok dari bantuan yang diberikan.
Baca juga: KLHK targetkan restorasi gambut 2 juta ha 2030 sukses 90 persen
Baca juga: "Siak Hijau", sumbangsih Indonesia kurangi perubahan iklim dunia
Penerapan GAP
Bupati Siak H Alfedri menyatakan sejak tahun 2017, Kabupaten Siak, menggandeng pihak swasta dan pengusaha kecil untuk menerapkan Good Agriculture Practice (GAP) untuk pengelolaan kebun sawit yang berkelanjutan.
Menurut Prof (Riset) Dr Ir Sumarno, M.Sc dalam laman http://balitkabi.litbang.pertanian.go.id/berita/good-agriculture-practices-gap-untuk-kemaslahatan-bersama/, pengertian GAP secara lengkap adalah penerapan sistem sertifikasi proses produksi yang menekankan pada adopsi teknologi maju ramah lingkungan, menuju kepada produk panen aman konsumsi, sistem produksi berkelanjutan, keanekaragaman hayati terjaga, kesejahteraan pekerja diperhatikan, dan usaha tani menguntungkan bagi pelaku usaha.
Bagi Bupati Siak, Perbup tentang Siak Hijau menjadi komitmen bersama untuk melakukan pengelolaan SDA yang berkelanjutan, sekaligus upaya penting untuk mencegah dan melakukan penanganan karhutla.
"Kami sudah tidak mengizinkan penebangan kayu alam, dan tidak lagi memberikan pembukaan konsesi lahan perkebunan sawit," katanya.
Pemkab Siak kini sedang mengembangkan lahan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), intensifikasi komoditas pertanian di lahan gambut seperti menanam sagu, kayu mahang dan juga aren.
Baca juga: Paludikultur dikembangkan untuk pengelolaan gambut berkelanjutan
Baca juga: Karhutla Dumai dan Siak berkurang signifikan karena restorasi
Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead menyebutkan bahwa mengembangkan daerah TORA adalah salah satu upaya mencegah terjadinya kebakaran, terutama di lahan gambut.
Ia menambahkan selain upaya untuk terus menjaga ketinggian muka air, kunci pencegahan kebakaran lahan gambut adalah memastikan lahan-lahan TORA itu tetap produktif.
"Karena bila memberikan manfaat ekonomi, otomatis masyarakat akan tetap menjaga lahan dan memahami pentingnya pertanian dan perkebunan di lahan gambut tanpa mengeringkan lahan gambut," kata Nazir Foead.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Elang --mitra di Taman Nasional (TN) Zamrud di Siak Riau-- Janes Sinaga menguatkan argumentasi tentang manfaat ekonomi dengan pertanian dan perkebunan tanpa mengeringkan lahan gambut itu.
Melalui program riset aksi sistem "paludikultur" melalui pembuatan lokasi uji coba dan pengamatan demonstration plot (demplot) di kawasan gambut di Kampung Dayun, pihaknya melakukan alternatif pengembangan lahan gambut berkelanjutan berbasis masyarakat
Menurut Winrock Indonesia, "paludikultur" adalah budi daya tanaman tanpa drainase pada lahan gambut yang basah atau telah dilakukan pembasahan dengan memilih spesies rawa asli gambut yang tidak hanya dapat memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga dapat menghasilkan biomassa (bahan biologis dari tanaman) yang akan berkontribusi pada pembentukan gambut dalam jangka panjang.
Dengan pendekatan "paludikultur" itu, dicari dan dikembangkan komoditas-komoditas yang bisa bernilai ekonomis jangka pendek dan jangka panjang yang dilakukan tanpa harus mengeringkan lahan gambut.
Di antaranya adalah komoditas seperti nanas, semangka, jagung, karet dan beberapa tanaman kayu adalah jenis yang saat ini sedang diuji coba di lahan yang dikelola oleh Perkumpulam Elang, dari Koalisi Saudagho Siak bekerja sama dengan Kelompok Tani Dayun, pemerintah kampung dan Masyarakat Peduli Api (MPA).
"Hal ini merupakan sebuah upaya restorasi lahan gambut yang juga ditujukan sebagai salah-satu pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di masa yang akan datang," katanya.
Kampung Temusai, sudah mencanangkan komitmennya atas penerapan keberlanjutan dan kelestarian di desanya dengan langkah nyata dan bukti nir-karhutla. Dari kampung di pelosok teladan itu bisa diikuti kampung dan desa lain dalam sumbangsihnya untuk pencegahan karhutla di Indonesia.*
Baca juga: Lahan gambut di sekitar area sumur minyak di Siak terbakar
Baca juga: Siak jadi tuan rumah Jambore Gambut 2020
Pewarta: Andi Jauhary
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019