Dari total 333 lebih pengembang perumahan, baru 35 pengembang yang telah menyerahkan kewajibannya yakni fasos-fasum
Sekitar 90 persen pengembang perumahan di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, tidak menyerahkan fasilitas sosial (fasos) maupun fasilitas umum (fasum), menurut data Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Pemukiman, dan Pertanahan Kabupaten Bekasi.
"Dari total 333 lebih pengembang perumahan, baru 35 pengembang yang telah menyerahkan kewajibannya yakni fasos-fasum," kata Kepala Bidang Perumahan Rakyat, Budi Setiawan di Cikarang, Selasa.
Pihaknya mengaku kewalahan menertibkan para pengembang perumahan yang tidak memenuhi kewajibannya itu karena selain jumlahnya yang relatif banyak juga beberapa pengembang sudah tidak diketahui lagi keberadaannya.
Baca juga: Organda Bekasi usul Kancil jadi alat transportasi warga perumahan
"Tapi upaya terus dilakukan. Akhir tahun ini ada tiga pengembang yang rencananya mau menyerahkan fasos-fasum," katanya.
Budi menyebut dari ratusan jumlah pengembang di wilayahnya itu, 58 di antaranya kini tidak diketahui keberadaannya setelah mereka tidak lagi mengelola perumahan.
"Jadi mereka sudah menelantarkan perumahan yang sebelumnya mereka bangun. Mungkin karena sudah puluhan tahun jadi sudah ditinggalkan. Keberadaannya kini sulit diketahui," ungkapnya.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyebut setiap pengembang wajib mengalokasikan lahan yang bakal dibangun untuk dijadikan fasos maupun fasum.
Kewajiban itu pun melekat sebagai syarat terbitnya perizinan. Fasos-fasum wajib diserahkan kepada pemerintah daerah untuk dikelola lebih lanjut.
Baca juga: 399 wajib pajak di perumahan mewah Summarecon Bekasi menunggak PBB
Fasos yang dimaksud meliputi jalan, angkutan umum, saluran air, jembatan, serta fasilitas yang diperuntukkan bagi masyarakat umum lainnya sedangkan yang disebut fasum di antaranya klinik, pasar, tempat ibadah, sekolah, ruang serbaguna atau juga fasilitas umum lainnya.
Sebenarnya pihaknya telah berulang kali memanggil para pengembang dan saat dipanggil mereka menyanggupi untuk memberikan fasos fasumnya akan tetapi mereka mengaku kesulitan mengurus administrasi pemisahan tanah.
"Jadi kan sertifikat fasos-fasum itu tanahnya harus displit dulu, nah mereka mengeluhkan waktu untuk mengurus sertifikat itu cukup lama," katanya.
Sementara itu, lanjutnya, ada juga yang mengaku masih dalam pemeliharaan sehingga belum bisa diberikan sehingga menyulitkan karena tidak ada ketentuan yang mengatur batas maksimal kapan harus diberikan.
Menurut dia, sulitnya penertiban fasos-fasum ini pula karena tidak tegasnya regulasi yang mengatur. Dalam regulasi pengembang yang tidak memberikan fasos fasumnya hanya dikenai sanksi berupa pencabutan izin usaha.
"Kalau izin usaha dicabut, ya tidak membuat efek jera. Apalagi yang sudah menelantarkan perumahannya otomatis mereka tidak peduli lagi. Maka memang aturannya seharusnya lebih tegas," katanya.
Tidak diserahkannya fasos-fasum ini dapat berdampak pada warga yang bisa jadi tidak merasakan pembangunan semisal jalan di perumahan, tidak bisa dibangun menggunakan APBD karena pengelolaannya belum diserahkan pada pemerintah.
"Yang kasihan ya warganya. Mereka sudah bayar pajak, tapi tidak merasakan pembangunan," ucap dia.
Untuk menekan banyaknya pengembang yang nakal Budi mengaku tengah menyusun peraturan bupati yang membolehkan pemerintah mengambil alih fasos dan fasum.
"Seperti fasos-fasum yang belum diserahkan, akan tetapi bisa dibangun oleh pemerintah, diambil alih. Ini tengah disusun dan diharapkan dapat segera diterapkan," kata Budi.
Baca juga: Bekasi telusuri sumber pencemar saluran air Rawalumbu
Pewarta: Pradita Kurniawan Syah
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2019