"Pertama RUU Pertanahan ini dia tidak boleh mengampuni kejahatan lingkungan yang sudah terjadi," kata Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi pada kegiatan bertajuk Serangkaian Legislasi yang Mengancam Kedaulatan Rakyat di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan Walhi memiliki data 289 perusahaan yang saat ini melakukan kejahatan lingkungan khususnya di ekosistem gambut. Konsesi tersebut diduga menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selama ini.
Kemudian, lanjut dia, apabila sudah disahkan menjadi Undang-Undang Pertanahan, maka tidak boleh ada lagi membuka pintu perampasan terhadap wilayah komunal dan masyarakat kaum adat.
Baca juga: Pemerintah diminta Walhi libatkan warga sipil dalam RUU Pertanahan
Padahal, saat ini, pemerintah dinilainya perlu berupaya lebih tegas untuk melindungi wilayah komunal terkait sistem kepemilikannya.
"Justru wilayah komunal ini yang harus dilindungi sekarang sistem kepemilikannya," katanya.
Selain itu, dalam RUU Pertanahan terdapat pasal 53 yang dianggap Walhi harus dan wajib dihilangkan pemerintah karena dapat membahayakan masyarakat.
Terpisah, Ketua Komisi Informasi (KI) Pusat Gede Narayana mengatakan substansi RUU tentang Pertanahan yang saat ini dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat merampas hak akses informasi masyarakat.
Baca juga: DPR-pemerintah sepakat tunda pengesahan RUU Pertanahan
RUU Pertanahan itu bertentangan dengan Pasal 28 F Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur jaminan terhadap hak setiap orang untuk memperoleh informasi.
"Informasi terkait nama pemilik hak atas tanah khususnya hak guna usaha (HGU) merupakan informasi publik yang bersifat terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat," kata Gede Narayana.
Baca juga: Menteri ATR sebut bank tanah picu batalnya pengesahan RUU Pertanahan
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019