Ketua Perhimpunan Pakar Gizi (Pergizi) dan Pangan Prof Hardinsyah dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, mengatakan, hidden hunger atau kelaparan yang terselubung harus menjadi perhatian khusus karena gejalanya tidak terlihat secara fisik seperti masalah kekerdilan.
"Yang tidak tampak, ini yang disebut dengan hidden hunger. Yang tidak tampak dari ukuran tubuh, kalau diambil darahnya diperiksa baru ketahuan," kata Hardinsyah.
Salah satu contoh kelaparan yang terselubung ini adalah anemia di mana saat kondisi seseorang kekurangan sel darah merah sehat yang cukup. Anemia dapat menyebabkan pucat, lesu, letih, konsentrasi terganggu, bagi orang dewasa pekerja akan mengganggu produktivitas, dan bisa menyebabkan kondisi anak stunting jika dialami ibu hamil.
Baca juga: Pakar: Kegemaran ibu menyusui makan buah akan ditularkan ke anak
Kondisi anemia ini disebabkan tubuh kekurangan asupan gizi yang cukup, walaupun defisit gizi tersebut tidak berdampak pada fisik seseorang seperti halnya kurang gizi maupun stunting.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kementerian Kesehatan, prevalensi anemia secara nasional melonjak signifikan lebih dari 10 tahun terakhir.
Data Riskesdas 2007 menyebutkan prevalensi anemia di Indonesia sebesar 11,9 persen, angka itu meningkat berdasarkan Riskesdas 2013 menjadi 21,7 persen secara nasional; 28,1 persen pada balita usia 12-59 bulan; dan 37,1 persen pada ibu hamil. Jumlah anemia pada ibu hamil tersebut kembali meningkat drastis menjadi 48,9 persen pada Riskesdas 2018.
Baca juga: Ibu hamil kurang kalsium lebih cepat keropos tulang
"Ini fakta yang dilaporkan Kemeterian Kesehatan. Ini warning, siapapun menteri kesehatan mendatang, dalam arti perbaikan gizi masalah 'hidden hunger' ini perlu jadi perhatian," kata Hardinsyah.
Hardinsyah yang merupakan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor tersebut menilai di samping itu juga adanya perbaikan gizi masyarakat di era pemerintahan Joko Widodo periode 2014-2019.
Hal tersebut terlihat dari perbandingan data Riskesdas tahun 2013 dengan 2018 di mana untuk stunting menurun dari 37,2 persen menjadi 30,8 persen. Selain itu status gizi buruk dan gizi kurang pada balita juga menurun dari 19,6 persen menjadi 17,7 persen.
Dia menilai perlunya menggenjot asupan gizi masyarakat yang tidak hanya dari pangan pokok seperti karbohidrat, melainkan juga sayur, buah, ikan, daging, dan telur yang merupakan sumber vitamin dan protein.
Baca juga: Frisian Flag-Pergizi Pangan edukasi gizi 15.000 keluarga Indonesia
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019