Akademisi Universitas Paramadina Djayadi Hanan mengatakan pelaksanaan pemilu nasional terpisah dengan pemilu lokal tidak melanggar prinsip pemilu serentak asalkan pelaksanaan pemilihan presiden dan legilslatif nasional diselenggarakan secara serentak.Pemaknaan serentak dari sudut pandang ilmu politik dan sistem pemerintahan presidensial adalah pelaksanaan pemilu legislatif dan eksekutif dalam waktu yang bersamaan
Djayadi Hanan yang ditunjuk Mahkamah Konstitusi sebagai ahli dalam sidang uji materi Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7 Tahun 2017 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis, mengatakan Pemilu 2019 termasuk dalam kategori pemilu serentak yang dibarengi dengan sebagian dari pemilu daerah, yakni DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menganggap pemilu yang konstitusional adalah pemilu serentak.
Baca juga: Bawaslu: Perlu penelitian dampak pemungutan suara dilakukan serentak
"Pemaknaan serentak dari sudut pandang ilmu politik dan sistem pemerintahan presidensial adalah pelaksanaan pemilu legislatif dan eksekutif dalam waktu yang bersamaan," tutur Djayadi Hanan.
Djayadi Hanan menegaskan menyertakan pemilihan anggota legislatif daerah dalam pemilihan nasional tanpa menyertakan pemilihan eksekutif daerah tidak menyalahi prinsip pemilu serentak.
Sebaliknya, hanya menyertakan pemilu untuk seluruh eksekutif daerah dengan pemilu nasional, juga tidak menyalahi prinsip pemilu serentak.
"Itu berarti bila masih ada pilihan lain yang menyertai pemilu serentak dalam pemaknaan seperti di atas, pilihan itu juga tidak melanggar prinsip pemilu serentak tersebut. Pilihan itu, misalnya, membagi pemilu menjadi dua, pemilu nasional dan pemilu daerah atau lokal atau pilihan lain," ujar dia.
Baca juga: Pemisahan pemilu dan pilkada serentak ubah struktur undang-undang
Penyertaan pemilu daerah dengan pemilu serentak nasional--presiden, DPR, DPD-- dikatakannya merupakan kebijakan yang dapat diambil atau tidak diambil berdasarkan pertimbangan masuk akal, seperti menyederhanakan kerumitan pelaksanaan.
Ada pun, perkara dengan nomor registrasi 37/PUU-XVII/2019 itu diajukan oleh pengurus Badan Arjuna Pemantau Pemilu, Badan Pena Pemantau Pemilu, Badan Srikandi Pemantau Pemilu, Badan Luber Pemantau Pemilu, seorang staf legal, dan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia lantaran pemilu serentak 5 kotak dinilai menimbulkan banyak korban.
Dalam penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019, petugas KPPS, PPS dan PPK yang meninggal dunia sebanyak 886 orang, sementara yang sakit sebanyak 5.175 orang.
Baca juga: Perludem yakin permohonan pemilu dibagi nasional dan daerah tak rumit
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019