Prevalensi balita dengan gizi kurang dan anak kurus pada tahun 2019 menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya menurut data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan.
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Siswanto di Jakarta, Jumat, prevalensi gizi kurang pada balita turun 1,5 persen dari 17,7 persen menjadi 16,29 persen dan prevalensi anak kurus menurun 2,8 persen dari 10,2 menjadi 7,44 persen pada 2019.
Seiring dengan penurunan kasus gizi kurang dan anak kurus, prevalensi stunting turun 3,1 persen dari 30,8 persen pada 2018 menjadi 27,67 persen pada 2019 menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Penurunan kasus stunting dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 27,67 persen tahun 2019 membawa Indonesia berpindah dari kelompok negara dengan kasus stunting tinggi ke kelompok negara dengan kasus stunting menengah.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek berharap penurunan kasus kekerdilan pada anak bisa konsisten tiga persen per tahun sehingga prevalensi kasusnya bisa di bawah 20 persen pada 2024 sesuai target yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Deputi Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretaris Wakil Presiden Bambang Widianto menerangkan bahwa ada lima pilar faktor penentu keberhasilan penurunan angka stunting.
Kelima pilar yang dia maksud meliputi komitmen pemimpin nasional dan pemimpin daerah, perubahan perilaku masyarakat, konvergensi atau pemusatan upaya penanggulangan stunting di berbagai kementerian dan lembaga, ketersediaan pangan dan gizi, serta monitoring dan evaluasi.
Dari kelima pilar tersebut, menurut Bambang, komitmen kepala daerah lah yang paling menentukan keberhasilan upaya penurunan angka gizi buruk pada anak.
Baca juga:
Menkes umumkan angka stunting turun jadi 27,67 persen
Angka kekerdilan ditarget turun 20 persen pada 2024
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019