Sebanyak 22 orang ini adalah anggota komplotan yang dimotori oleh oknum dosen nonaktif Institut Pertanian Bogor (IPB) yang bernama Abdul Basith (AB).
Kelompok ini merencanakan teror dan kerusuhan dengan menggunakan bom molotov dan bom rakitan dengan modus mendompleng unjuk rasa.
Kabid Humas Polda Metro Jaya menjelaskan terungkapnya kasus ini berawal dari laporan masyarakat mengenai aktivitas mencurigakan yang diduga merencanakan a
teror di sebuah rumah di kawasan Cipondoh, Tangerang Kota, Banten.
"Berawal dari adanya pertemuan beberapa orang tanggal 20 September 2019 di daerah Ciputat," kata Argo di Polda Metro Jaya, Jumat.
Baca juga: Polisi: Dosen AB dan kelompok berencana gagalkan pelantikan presiden
Pada rapat di Ciputat itu sudah terjadi permufakatan untuk membuat suatu kejahatan, yaitu mendompleng unjuk rasa tanggal 24 September.
"Yaitu untuk membuat chaos, pembakaran, dan sebagainya," kata Argo.
Pertemuan itu diketahui menyusun rencana untuk mendompleng aksi unjuk rasa di Komplek Parlemen Senayan.
Dalam aksi tersebut, kelompok Abdul Basith menyiapkan tujuh buah bom molotov.
Barang tersebut diketahui itu digunakan dalam bentrokan di daerah Pejompongan, Jakarta Pusat untuk melawan aparat dan melakukan pembakaran pos polisi.
Abdul Basith yang tidak puas dengan kerusakan yang ditimbulkan pada bentrokan 24 September kemudian mencari seseorang yang bisa membuat bom rakitan.
Baca juga: Menristekdikti selidiki oknum dosen terkait kepemilikan bahan peledak
Sasaran komplotan AB kali ini adalah Mujahid 212 yang digelar di Bundaran HI hingga Lapangan Monas pada 28 September 2019.
Meski demikian, serangan yang rencananya akan mendompleng Mujahid 212 tersebut batal terlaksana karena komplotan tersebut berhasil dibekuk polisi pada 27 September 2019.
Akibat perbuatannya, 22 tersangka itu kini ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Polda Metro Jaya untuk menjalani proses hukum.
Para tersangka dijerat Pasal 187 bis Pasal 212 KUHP, Pasal 214 KUHP dan Pasal 218 KUHP dengan ancaman hukuman minimal 20 tahun penjara dan maksimal hukuman mati.
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019