Tema perdamaian dunia sangat relevan karena kita masih menyaksikan krisis kemanusiaan yang terjadi akibat perang di berbagai belahan bumi.Konflik bersenjata di Suriah sejak 2011 telah menelan korban sedikitnya 500 ribu orang, dan 12 juta penduduknya mengungsi. Krisis Suriah kemudian memunculkan konflik lain di perbatasan yang melibatkan Turki, etnik Kurdi, Rusia, Amerika Serikat dan milisi-milisi bersenjata, termasuk ISIS.
Krisis keamanan juga masih berlangsung di Yaman, Afghanistan, Sudan, wilayah selatan Saudi Arabia, dan yang tak bisa diabaikan adalah konflik lebih dari separuh abad akibat penjajahan Israel atas Palestina. Pada berbagai konflik itu terselip pertarungan kepentingan antar negara-negara adidaya. Umat Islam hanya menjadi korban.
Lalu, mungkinkah kaum santri sebagai bagian dari umat yang terpelajar (well-educated people) mampu mengartikulasikan perdamaian dunia? Tentu saja kita perlu tawadhu dan introspeksi, bahwa peran santri di dalam negeri lebih diprioritaskan, karena Indonesia juga masih mengalami tantangan di berbagai bidang.
Baca juga: PBNU: UU Pesantren kabar gembira Hari Santri Nasional
Salah satu tantangan berat yang dihadapi Indonesia saat ini adalah merawat integrasi nasional agar tidak tereduksi oleh munculnya semangat sukuisme atau rasialisme. Konflik komunal yang terjadi di Papua dan Papua Barat, khususnya tragedi kemanusiaan di Wamena, Sorong, Manokwari dan Jayapura merupakan alarm masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita bereskan untuk menata ulang hubungan antar suku, agama dan golongan berbeda. Konflik terkini terjadi di daerah calon Ibukota baru, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur antara warga Dayak dan pendatang.
Nasionalisme Indonesia harus dibangun di atas nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sebagaimana terangkum dalam Pancasila. Sebaliknya, sikap anti-Tuhan atau anti-agama, diskriminasi rasial, perpecahan atau separatisme, elitisme atau oligarki, dan kezaliman merupakan ancaman nasional yang utama.
Peran santri tentu tidak bisa menghentikan kekerasan secara fisik, karena itu tugas aparat keamanan dan Kepolisian RI. Sebagaimana santri Indonesia tidak harus berlatih kemiliteran agar siap dikirim menjadi pasukan perdamaian dunia, karena itu menjadi tugas Tentara Nasional Indonesia (TNI). Partisipasi masyarakat dalam bidang pertahanan-keamanan telah diatur dalam Rancangan Undang-undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara yang baru saja disetujui DPR RI.
Peran santri yakni membangun kesadaran, betapa bangsa Indonesia sejak awal eksistensinya bersifat majemuk dan hanya bisa bertahan bila merawat kemajemukan. Pondok pesantren adalah miniatur Indonesia sebab santri dari seluruh pelosok Nusantara berkumpul untuk menuntut ilmu. Bahkan, warga yang beragama non-Islam bisa datang ke pesantren untuk belajar ilmu bahasa, falsafah, pertanian atau keahlian lain. Karena saat ini, banyak pesantren yang mengembangkan disiplin ilmu baru di luar pendidikan keagamaan.
Dalam konteks perdamaian dunia, kaum santri dapat menanamkan dan menyebarluaskan nilai-nilai universal Islam yang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Ada tiga sikap dan nilai dasar yang dapat dipromosikan.
Baca juga: MUI: UU Pesantren kuatkan pengakuan negara pada pendidikan Ponpes
Pertama, nilai moderasi Islam (al-washathiyah) sebagaimana ditegaskan dalam kitab suci Al-Qur’an (surat Al-Baqarah: ayat 143), bahwa Umat Islam adalah umat pertengahan yang menjadi saksi atas segala perbuatan manusia di muka bumi. Karakter utama seorang saksi ialah bersifat adil. Kita menolak segala bentuk ekstremitas dalam kehidupan beragama dan pergaulan sesama manusia.
Santri adalah duta umat Islam yang harus memiliki konsep berpikir dan bertindak moderat. Tetap berada di atas jalan tengah, tidak terjebak tarikan ke kiri/komunisme, liberalisme atau ke kanan/radikalisme/terorisme. Santri menjadi contoh bagi masyarakat luas tentang sikap moderat yang diajarkan Islam.
Kedua, nilai yang patut diperjuangkan untuk perdamaian dunia adalah tasamuh, yakni berjiwa terbuka (open mind) dan berlapang dada dengan segala perbedaan. Saat ini, kebutuhan kita terhadap sikap toleran melebihi kebutuhan di masa lalu. Hari-hari ini kita menghadapi ancaman perpecahan, pertikaian, saling benci dan konfrontasi. Berbagai bentuk pendekatan budaya, interaksi peradaban, terus berkembang dengan terjadinya revolusi teknologi informasi dan komunikasi. Kita seperti hidup dalam kampung kecil di planet yang besar. Bila pikiran dan jiwa kita kerdil, maka akan timbul beragam masalah.
Kedekatan yang tercipta berkat kemajuan teknologi menyebabkan interaksi nyaris tanpa batas. Untuk itu, kita perlu mengembangkan nasionalisme yang berlandaskan kemanusiaan, tidak terperangkap chauvinisme. Nilai-nilai Islam sendiri sejak zaman Nabi Muhammad Saw ditujukan bagi seluruh umat manusia (kaafftan lin-naas), bukan hanya untuk suku atau bangsa tertentu. Tidak perlu alergi dengan dakwah yang bersifat transnasional karena itu justru menandai watak kosmopolitan Islam yang sering diungkap Bung Karno dan Bung Hatta.
Namun kita mengakui, interaksi dan informasi global juga mungkin menimbulkan efek samping berupa ancaman antara satu bangsa terhadap bangsa lain, antara satu kelompok dengan kelompok lain, antar satu agama dengan agama yang lain, bahkan antar sesama anak bangsa yang sama, dan juga antar sesama pemeluk agama yang sama. Jika diteliti lebih jauh, ternyata sumber ancaman itu adalah: sikap ta’ashub atau fanatisme.
Fanatisme yang menjadi sumber perpecahan bukanlah rasa bangga seseorang dengan aqidah yang dipegangnya. Keyakinan itu baik dan tak bisa dianggap negatif. Tapi maksud fanatisme yang buruk adalah sikap ketertutupan seseorang dengan keyakinan dan pemikirannya, serta menganggap bahwa orang lain seluruhnya yang berbeda dengannya adalah musuh, lalu berusaha mencelakakan mereka, mencemarkan kebaikan mereka, memancing dan melakukan kekerasan atas mereka. Itulah fanatisme yang mengganggu kedamaian dan ketenteraman sosial.
Islam memiliki cara untuk mengatasi sikap fanatik sempit. Para santri yang belajar syariah dan peradaban Islam tentu memahami: tasamuh yang menolak ta’asshub (fanatisme), mendorong ta’aaruf (saling mengenal) dan menghalangi sikap tanaakur (saling menolak), menumbuhkan al-hubb (cinta) dan menjauhkan karaahiyah (kebencian), mendorong hiwaar (dialog) dan menghindari shaddaam (benturan), menyarankan rifq (kelembutan) dan menolak ‘unf (kekerasan), menyuburkan rahmah (kasih sayang) dan mematikan qaswah (kekerasan), menjamin salaam (kedamaian) dan berusaha semaksimal mungkin tidak melakukan harb (peperangan).
Ketiga, Al-i`tilaf yang berarti harmoni atau keserasian. Yakni, keselarasan antara keyakinan dan tingkah laku, menghormati, menyayangi apa yang ada, merangkum, dan mensinergikan segala bentuk perbedaan secara ikhlas dan alamiah.
Dengan harmoni akan tercipta energi pembangun tatanan kehidupan yang indah dan teratur. Harmoni bukan keterpaksaan, tetapi ada sistem dan aturan yang menjadi kesepakatan bersama, dimana semua komponen bangsa berusaha menjaganya karena menyangkut kepentingan bersama. Harmoni dimulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, tatanan internasional, bahkan alam semesta. Dengan harmoni, semua akan menjadi indah, enak dilihat, dirasakan, dan dinikmati.
Peran santri dan urgensi nilai-nilai keislaman dalam format kebangsaan tak perlu diragukan lagi karena pada tanggal 22 Oktober 1945, para ulama di bawah pimpinan Hadratusyekh KH Hasyim Asy’ari merespon pertanyaan Presiden Soekarno tentang: apa hukumnya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia melawan penjajah? Para ulama mengeluarkan Resolusi Jihad untuk membakar semangat seluruh lapisan masyarakat, termasuk kaum santri agar bergabung dalam laskar-laskar perjuangan.
Resolusi Jihad itu kemudian dikukuhkan dalam Kongres Umat Islam Indonesia I (7-8 November 1945) di Yogyakarta, dan akhinya menyulut perjuangan rakyat bersama kaum santri dalam Perang Surabaya (10 November 1945).
Islam memerangi penjajahan dan penindasan manusia atas manusia lain. Islam mengajarkan persatuan dan melarang peperangan, perselisihan, dan permusuhan. Islam yang akhirnya menjadi agama mayoritas di Indonesia melawan kemiskinan agar terwujud kesejahteraan, menghentikan kezaliman demi terciptanya keadilan bagi seluruh rakyat.
Perselisihan yang terjadi di negeri ini dan belahan dunia lain, mungkin berlatar-belakang pemikiran, kesukuan, perbedaan kepentingan dan lainnya. Tapi, sesungguhnya perselisihan itu berpangkal dari kondisi hati yang sakit. Hati yang tersandera oleh penyakit iri, dengki, ujub, arogansi, dan niat atau motivasi buruk lainnya. Hati yang sakit itu kemudian mempengaruhi cara berpikir, sikap dan perilaku yang mencelakakan dan menghancurkan pihak lain.
Karena itu, misi perdamaian kaum santri yang menurut data Kementerian Agama saat ini berjumlah 3.642.738 orang tersebar di 27.218 pesantren, harus dimulai dengan pembersihan hati dan penjernihan pikiran. Diplomasi global perlu dikembangkan dengan hati tulus dan pikiran terbuka. Selamat meresapi Hari Santri Nasional.
*) Dr. Hidayat Nur Wahid, MA adalah Wakil Ketua MPR RI dan Wakil Ketua Badan Wakaf Pondok Pesantren Darussalam, Gontor, Jawa Timur.
Baca juga: Hari Santri bukan sekadar film atau UU Pesantren
Pewarta: Dr. Hidayat Nur Wahid, MA *)
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019