Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) hingga akhir 2018 menunjukkan pemakai internet di Tanah Air mencapai 171,1 juta warga internet (warganet). Bahkan, sebagian besar di antara mereka adalah generasi milenial.
Tidak menutup kemungkinan bakal lahir kembali tokoh di balik Sumpah Pemuda, seperti Muhammad Yamin, Soegondo Djojopoespito, Wage Rudolf Soepratman (W.R. Soepratman), Soenario Sastrowardoyo, J. Leimena, dan Sie Kong Liong pada era digital sekarang ini.
Satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia telah mereka goreskan, 91 tahun silam. Generasi sekarang tinggal merawat Sumpah Pemuda dengan mengutamakan kesatuan dan persatuan bangsa yang beraneka suku, agama, ras, golongan, dan bahasa daerah.
Baca juga: Kesadaran persatuan itu bermula dari Kramat 106
Baca juga: 1.000 siswa Bali ikuti Festival Nyurat Lontar Massal
Terkait dengan bahasa daerah, agar tidak punah, generasi milenial yang berasal dari 34 provinsi di Indonesia sering memakainya ketika berkomunikasi via media sosial (medsos). Sebanyak 671 bahasa daerah di Nusantara merupakan salah satu sumber kekuatan bahasa persatuan karena menambah khazanah bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, warganet perlu memasyarakatkan bahasa daerah, seperti bahasa Banjar, Bugis, Batak, Davayan, Gayo, Jawa, Kayu Agung, Komering, Lematang, Minangkabau, Nias, Sunda, dan Sigulai, dengan padanannya. Hal ini penting agar warganet dari daerah lain mengerti makna kata/frasa tersebut.
Bahkan, di antara kata/frasa bahasa daerah sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Misalnya, sampean (kamu) asal bahasa Jawa dan ngabuburit atau mengabuburit (menunggu azan magrib menjelang berbuka puasa pada bulan Ramadan) asal bahasa Sunda.
Namun, ada pula kata/frasa yang belum masuk dalam KBBI, misalnya kata yang berasal dari bahasa Batak "masihol", "impol", "marsahit lungun", atau "sihol" yang bermakna kangen. Jika lema ini sering digunakan warganet, bakal masuk dalam KBBI. Dengan demikian, akan menambah perbendaharaan kata bahasa Indonesia.
Jika kata itu sudah termaktub di dalam kamus, seyogianya memperhatikan bentuk baku ejaan tersebut. Dengan mematuhi kaidah ejaan, tanda baca, dan tata bahasa, menunjukkan mereka telah menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Peluang generasi milenial menjadi tokoh seperti para pendahulunya masih terbuka lebar, apalagi bangsa ini punya cita-cita meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (vide Pasal 44).
Di tangan generasi milenial inilah kelak bakal terwujud. Namun, siapa di antara generasi yang lahir di antara tahun 1980-an dan 2000-an yang bakal tampil seperti tokoh Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928?
Generasi milenial yang mematuhi kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar serta berani meluruskan kesalahkaprahan penggunaan ejaan. Selain itu, mereka yang peduli dengan gramatika, yang peduli ejaan, dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) yang bakal tampil di garda depan untuk menjadikan bahasa Indonesia salah satu bahasa internasional.
Untuk menjadikan mereka pionir pertama dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, seyogianya mulai Presiden dan Wakil Presiden RI, menteri, pimpinan MPR/DPR/DPR RI, pimpinan TNI/Polri, guru, dosen, hingga media massa perlu mematuhi ejaan, tata bahasa, dan PUEBI.
Bahasa Pejabat
Presiden/wakil presiden di negara mana pun mempunyai pengaruh yang kuat di mata rakyatnya. Apa yang diucapkan akan ditiru oleh warga negaranya. Begitu pula, terkait dengan produk hukum, baik berupa peraturan presiden, keputusan presiden, maupun instruksi presiden, akan dipatuhi oleh pembantu presiden (menteri).
Tidak hanya presiden/wakil presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) yang diketuai Bambang Soesatyo ketika akan mengamendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga harus memperhatikan ejaan yang ada di dalam kamus.
Hal itu berpijak pada pengalaman ketika MPR RI mengamendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Tidak saja mengubah nama UUD 1945 menjadi UUD NRI Tahun 1945, tetapi ada kata/frasa yang diikuti oleh hampir semua pemerintah daerah.
Penulisan "walikota" pada Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, misalnya. Karena hampir semua pemerintah kota menggunakan "walikota", muncul dua versi di tengah masyarakat: "walikota" (versi UUD NRI Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 19 Agustus 2002) dan wali kota (versi KBBI).
Sebelum amendemen UUD 1945, atau pada masa Era Orde Baru, ada Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1988 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menyinggung soal pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, serta memasyarakatkan penggunaan bahasa Indonesia secara baik, benar, dan penuh kebanggaan (vide Sektor Kebudayaan butir f).
Bila GBHN dihidupkan kembali, ketentuan tersebut sebaiknya dimasukkan. Dengan harapan, bahasa peraturan perundang-undangan akan mengacu pada kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Oleh sebab itu, sebelum diundangkan di dalam Lembaran Negara (berupa UU), lembaran daerah (perda), maupun di dalam berita daerah (peraturan kepala daerah), sebaiknya melibatkan pakar bahasa Indonesia untuk meminimalkan tingkat kesalahan ejaan.
Tidak adanya dua versi dalam penulisan kata/frasa yang maknanya sama, tidak akan membingungkan pemakai bahasa Indonesia, termasuk kalangan milenial yang ingin menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia di media sosial maupun di mana pun mereka berada.
Baca juga: Salahkah berbahasa campuran asing?
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019