• Beranda
  • Berita
  • CIFOR: Masyarakat butuh contoh nyata pembukaan lahan tanpa bakar

CIFOR: Masyarakat butuh contoh nyata pembukaan lahan tanpa bakar

24 Oktober 2019 14:55 WIB
CIFOR: Masyarakat butuh contoh nyata pembukaan lahan tanpa bakar
Seorang warga berusaha memadamkan api kebakaran lahan gambut yang hampir mendekati permukiman di kawasan Desa Seuneubok, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, Aceh, Kamis (8/8/2019). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/foc.
Pusat Riset Kehutanan Internasional atau CIFOR mengungkapkan hasil riset lapangan di Provinsi Riau, yang menunjukan bahwa masyarakat di akar rumput yang berprofesi sebagai petani membutuhkan contoh nyata agar meninggalkan kebiasaan membuka lahan gambut dengan membakar yang kerap menimbulkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan bencana asap.

"Selama ini pemerintah larang masyarakat membakar, tapi gak ada contoh di lapangan. Ini yang unik dari penelitian ini," kata Ketua Tim Peneliti CIFOR, Prof. Dr. Herry Purnomo, di Pekanbaru, Kamis.

Ia mengatakan selama satu setengah tahun CIFOR bersama peneliti Universitas Riau melakukan penelitian untuk mencari model pencegahan kebakaran dan restorasi gambut berbasis masyarakat. Lokasi penelitian di Desa Dompas, Kabupaten Bengkalis, dengan cara bersama masyarakat membuka lahan pertanian nanas diawali membuka lahan dengan cara tebas tapi tidak dibakar.

Herry Pernomo mengakui hingga kini belum ada hasil penelitian yang bisa menekan biaya produksi dari segi materi dan waktu, untuk membuka lahan gambut dengan cara tanpa membakar agar lebih ramah lingkungan. Penelitian CIFOR di Desa Dompas dilakukan tanpa menggunakan alat berat untuk membuka lahan, sehingga butuh waktu lebih lama.

"Dalam satu setengah tahun masyarakat mulai memahami bahwa tidak membakar itu mungkin, walau ongkosnya lebih tinggi. Mengapa bakar, karena bakar itu murah. Kita sampaikan cara tidak membakar untuk satu hektare butuh Rp5,5 juta," katanya.

Baca juga: Perusahaan perkebunan diminta tidak buka lahan dengan membakar

Baca juga: Pembakar lahan tertangkap tangan, sengaja untuk buka lahan pertanian


Jumlah itu bisa lima kali lipat lebih mahal dibandingkan untuk membuka lahan dengan membakar (slash and burn). Meski begitu, ia mengatakan biaya yang lebih besar itu sebenarnya bisa dikompensasi kepada warga asalkan metode pengolahan pertanian dilakukan secara optimal.

"Murah dan mahal itu kan tergantung kompensasi. Kalau melakukan pertanian dengan baik walau pengolahan lebih mahal, itu lebih terjamin dan tidak perlu takut warga jadi kriminal," ujarnya.

Ia mengatakan, penerapan hasil penelitian tersebut tentu butuh proses yang harus didukung oleh semua pihak terutama pemerintah pusat dan daerah. Penegak hukum juga harus tegas melarang pembukaan lahan dengan membakar, dan menindak tegas pelakunya.

Di sisi lain, pemerintah harus mendorong perusahaan lembaga keuangan untuk mempermudah akses kredit bagi warga yang akan membuka lahan tanpa membakar.

"Dengan begitu, jangan sampai yang cara bagus seperti ini kalah dengan para kriminal yang membakar lahan karena lebih mudah dan murah," ujarnya.*

Baca juga: BRG perkenalkan cara buka lahan gambut tanpa api

Baca juga: Dinas Kehutanan imbau masyarakat tidak buka lahan dengan membakar

 

Pewarta: FB Anggoro
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019