• Beranda
  • Berita
  • Gelombang indie era 2000-an melawan kejenuhan pop melayu

Gelombang indie era 2000-an melawan kejenuhan pop melayu

25 Oktober 2019 21:43 WIB
Gelombang indie era 2000-an melawan kejenuhan pop melayu
Grup band THE SIGIT beraksi di atas panggung di Tangerang, Banten, Rabu (4/2). (ANTARA FOTO/RIVAN AWAL LINGGA)
Riuhnya rock di era 2000-an ke atas tak hanya milik arus utama, di bagian lain, kelompok musik yang besar dari lingkungan panggung bawah tanah punya ruang gerak yang lebih leluasa.

Apalagi ketika musik arus utama yang kerap menghiasi televisi semakin membosankan, hal itu imbas dari banyaknya band --mengutip Denny Sakrie-- pop (rasa) melayu dan terlalu sering tampil di layar kaca pada paruh kedua dekade 2000.

Dalam "100 Tahun Musik Indonesia", Denny Sakrie menulis acara-acara musik TV yang terlampau banyak dan menampilkan band-band pop (rasa) melayu tak jarang mendapat cemooh karena kualitas musik yang rendah dan lirik yang hanya berkutat pada permasalahan selingkuh saja.

"Pada saat itulah, muncul counter yang bertolak belakang. Ada suatu yang baru dengan cepat memikat titik perhatian," tulis Denny dalam bukunya.

Counter yang Denny maksud adalah musik indie.

"Gerakan indie label yang semula seperti mengenyam dunia sendiri, secara perlahan mulai dilirik. Mereka mulai menempati relung-relung penyimak musik Indonesia," tulis Denny lagi.

Baca juga: Histori Rock Indonesia, era 2000-an banjir musik alternatif

Baca juga: Histori Rock Indonesia, saat britpop lebih dikenal indies

 
Vokalis kelompok musik Seringai Arian Arifin menghibur penggemarnya saat konser di Taman Budaya Kertalangu, Kota Denpasar, Bali, Jumat (12/6) malam. (ANTARA FOTO/FIKRI YUSUF)


Pelaku skena musik indie, Eka Annash menyebut kalau embrio musik indie sudah terasa di era 2000-an awal. Itu merupakan perpanjangan dari skena yang sudah dimulai sejak dekade 1990-an.

Eka dikenal sebagai vokalis dari band rock n roll The Brandals yang berdiri di era 2000-an. Namun sebelum itu, di era 90-an, Eka lebih diketahui sebagai vokalis Waiting Room.

Hubungannya dengan kancah musik independen Jakarta sempat terputus seiring kepergiannya ke Australia untuk sekolah. Sepulangnya dari benua Kangguru, Eka sempat diajak beberapa kawannya untuk menghadiri perhelatan musik independen di Jakarta yang dia kira sudah tak ada lagi.

Di sebuah perhelatan musik di Institut Kesenian Jakarta, Eka menonton The Upstairs. Band yang membuatnya kepincut sebelum kemudian berkenalan dengan vokalisnya, Jimmi Multazam.

"Dari situ gua merasa kalau band-band begini masih ada. Panas gua langsung, pengen punya band lagi. Pas gua pulang, adik gua -- almarhum -- lagi bikin band sama teman-temannya, gua denger keren juga. Diajak lah gabung," kata Eka.

"Jadi bisa dibilang era 2000-an ini renaissance-nya musik independen di Jakarta," Eka menambahkan.

Baca juga: Histori rock Indonesia, grunge dan rombongan "bawah tanah"

Baca juga: Histori Rock Indonesia, Slank tawarkan pilihan berbeda

 
The Upstairs merayakan ulang tahun yang ke 17 di Synchronize Fest 2018 (ANTARA News/Chairul Rohman)


Berkah stagnansi

Eka tak mengetahui pasti apa sebabnya percikan band independen bisa mendapat sorotan, dia menduga di era itu industri sempat mengalami stagnansi yang membuat gerakan bawah tanah jadi pilihan.

Tak berselang lama, band-band ini kian menguatkan eksistensinya dengan rekaman yang dirilis lewat label independen seperti Aksara (Jakarta) atau FFWD (Bandung) dan semakin dikukuhkan lewat industri Pesta Seni di sekolah-sekolah menengah atas terutama Jakarta dan Bandung.

Beberapa band yang muncul selain The Brandals dan The Upstairs di antaranya Seringai, Teenage Deathstar, The S.I.G.I.T, dan lain-lain.

"Musiknya juga variatif, tidak ada satu corak tertentu. Di pensi line up-nya diambil dari band-band ini. Banyak yang jadi "Raja Pensi", lama-lama sudah terbentuk industrinya, konsumennya, sehingga permintaan sudah mulai ada," ucap dia.

Baca juga: Histori Rock Indonesia, saat musik cadas kian berwarna di 90-an

Baca juga: Histori rock Indonesia, kiprah sang "Dewa Rock"

 
Pure Saturday di Gedung Kesenian Jakarta, Pasar Baru, Jakarta, Selasa (15/5)./Koz/Spt/12. (ANTARA/Teresia May)


Eka tak menampik kalau sebelum era ini, pensi sudah sering digelar. Namun di dekade 1990-an itu hanya terbatas pada sekolah-sekolah yang dikenal elit.

Sementara di dekade 2000-an, pensi bisa digelar oleh sekolah mana saja seiring zaman yang lebih fleksibel baik dari pengadaan logistik dan banyaknya band yang punya kualitas bagus namun dengan tarif yang lebih murah ketimbang band-band yang main di pensi 90-an.

"Kalau di pensi 90-an itu kan yang datang misalnya Java Jive, Dewa, Kahitna, GIGI yang mahal. Bawa ke sponsor pun enggak nutup. Di era 2000-an lebih budget friendly," ucap dia.

Dekade ini pun disebut Eka sebagai era musik independen mendapat kue yang besar dari industri musik Indonesia saat itu.

Mengenai fenomena ini, Penulis Bandung Pop Darling Irfan Muhammad menyebut dukungan media juga cukup masif untuk kemunculan dan keterkenalan band-band ini.

Baca juga: Jejak kaum hawa dalam histori rock Indonesia

Baca juga: Histori rock Indonesia, rivalitas musik dan Aktuil sebagai barometer

 
Penampilan Rocket Rockers dalam "Magnumotion - Slank Mantap Melangkah Tour 2019" di Pekan Raya Sumatera Utara, Medan, Kamis malam. (Antara/Nanien Yuniar)


MTV Indonesia yang belum lama terbentuk misalnya, rutin memutar klip dari band-band itu. Begitu juga media alternatif yang punya pengaruh besar seperti Ripple Magazine di Bandung, atau HAI yang mencakup skala nasional.

"Soundtrack juga. Misalnya ada "Janji Joni" (2005), "Catatan Akhir Sekolah" (2005) yang cukup laku di pasaran dan lagu latarnya diisi oleh band-band ini," ucap Irfan.

Pengamat dan penulis musik, Idhar Resmadi menuturkan, saat itu bisa dibilang media informasi seperti cetak, TV, dan radio memang sedang jaya-jayanya. Hal itu berimbas juga pada band-band indie yang berkembang tadi, karena sering dapat jatah tayang di media-media tersebut.
 
Vokalis band Koil tampil pada konser Road Show Soundrenaline di Landasan Udara (Lanud) Tabing, Padang, Sumbar, Sabtu (4/5) malam. Foto. antarasumbar.com/Arif Pribadi/13


Di fase kekosongan ideologi ini, band-band indie yang muncul juga lebih banyak bercerita tentang keseharian atau diri sendiri yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk menikmati musik yang lebih lepas.

"Beda dengan 1990-an Pure Saturday dengan "Utopia" (1999) juga ada unsur politiknya, pengaruh lingkungan. Memasuki 2000-an pasca-reformasi kan euforia kita lepas, ke budaya barat tinggi, liberal, itu kelihatan banget, dari musik, budaya, parti bebas," ucap dia.

Adapun yang jadi pengaruh untuk kelompok musik indie, diakui Idhar cukup beragam, namun seperti yang terjadi di luar banyak pengaruh dari musik era 1970-an yang diadaptasi kembali oleh generasi rock di dekade 2000.

"Makanya ada istilah era revivalist. Mulai kelihatan di scene lokal, misalnya kayak The S.I.G.I.T, Teenage Death Star, The Adams, mereka mengkomposisi musik-musik lama jadi kekinian," ucap dia.

Baca juga: Histori rock Indonesia, lahirnya musisi legenda

Baca juga: Histori rock Indonesia, fenomena musik dari pemancar gelap

Baca juga: Histori rock Indonesia, Orde Baru buka keran budaya barat

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2019