Baca juga: Susy Susanti jadi "menantu" kesayangan PB Djarum
"Susi Susanti - Love All" berkisah tentang masa kecil Susi (Moira Tabina Zayn) di Tasikmalaya, alih-alih mengikuti lomba menari, dia malah menonton kakaknya berlomba bulu tangkis. Susi bahkan menantang tanding kakaknya dan sukses mengalahkannya.
Setelah pertandingan tersebut, Susi ternyata mendapat kesempatan untuk mengikuti try out di PB Jaya Jakarta. Di sana dia berlatih bersama anak-anak lain dalam program yang diciptakan oleh Rudi Hartono. Dari sini, ambisi Susi untuk memenangkan pertandingan pun mulai terlihat hingga akhirnya memenangkan World Championship Junior 1985 yang membawanya masuk ke pelatihan nasional PBSI.
Di PBSI, Susi dewasa (Laura Basuki) dilatih oleh Tong Sin Fu (Chew Kinwah) dan Liang Chu Sia (Jenny Chang). Di sana juga Susi bertemu teman-teman atlet seperti Alan Budikusuma (Dion Wiyoko), Ardy B. Wiranata (Nathaniel Sulistyo), Hermawan Susanto (Rafael Tan), Sarwendah Kusumawardhani (Kelly Tandiono).
Susi pun meraih beragam prestasi, mulai dari, medali emas di Sudirman Cup Jakarta 1989, medali emas di World Cup Guangzhou 1989, medali emas di Olimpiade Barcelona 1992 dan sederet medali lainnya.
Baca juga: JK tengok seragam Susi Susanti di Museum Olimpiade Lausanne
Namun pada tahun 1995, Susi mulai terbentur oleh masalah status kewarganegaraannya yang tidak jelas karena keturunan Tionghoa, padahal dia sudah mengharumkan nama Indonesia. Belum lagi media massa yang membahas prestasinya yang menurun setelah berhubungan dengan Alan. Bagaimana akhirnya nasib Susi?
Film rahan sutradara Sim F ini jelas mengajak kita untuk melihat perjalanan sosok legendaris bulu tangkis Indonesia yang memang tidak mudah. Harus menjalani latihan yang ketat dan jauh dari keluarga di usia yang masih sangat belia serta menghadapi penonton yang marah saat atletnya kalah.
Tak hanya soal olahraga, film ini juga menyinggung gejolak politik Indonesia di bawah pimpinan Soeharto tentang warga keturunan Tionghoa di mana pada saat itu sulit mencari status kewarganegaraan.
Seorang Susi yang sudah membanggakan Indonesia pun ternyata tidak mendapat jaminan apapun soal status warga negara mereka, bahkan pada kerusuhan 1998, keluarga Susi sempat mengalami kejadian yang tidak mengenakkan dan ini cukup menyesakkan dada yang menonton.
Namun jika bicara soal nasionalisme, sepertinya "Susi Susanti - Love All" adalah film yang sangat mampu menghidupkan suasana itu. Bagaimana tidak, penonton juga dibuat tegang sangat menyaksikan pertandingan-pertandingan Susi Susanti.
Baca juga: Susy mulai pawai obor Asian Games dari India
Tidak sedikit juga yang ikut bertepuk tangan saat Susi berhasil memenangkan medali emas di Sudirman Cup 1989. Belum lagi ketika lagu "Indonesia Raya" dikumandangkan saat Susi memenangkan Olimpiade 1992, momen tersebut cukup membuat haru dan kita akan ikut merasakan kebanggaan itu.
Berbicara soal akting, Laura sangat sukses memerankan sosok Susi yang ambius. Chemistry antara Laura dan Dion yang berperan sebagai Alan juga tidak diragukan lagi. Momen saat keduanya mulai dekat membuat gemas sekaligus tersenyum.
Film ini tidak hanya memperlihatkan adegan-adegan serius saja, Kelly Tandiono mampu memberikan penyegaran dengan guyonannya yang menghibur. Ada juga sosok ibu Susi (Dayu Wijanto) yang jenaka dan ayah Susi (Iszur Muchtar) yang selalu hangat dan memberikan semangat pada anaknya.
Untuk urusan sinematografi dan tone warna, Sim F sukses menampilkan nuansa 1980an dan 1990an. Belum lagi dari gaya rambut, pakaian, ruko, toko hingga kendaraan umum seperti President Taksi.
Film berdurasi 2 jam ini sudah tayang di seluruh bioskop Indonesia. "Susi Susanti - Love All" yang merupakan film biopik ini sangat cocok untuk ditonton sekeluarga. Selain untuk menunjukkan kebanggaan bahwa Indonesia memiliki sosok legenda bulu tangkis yang diakui dunia, film ini juga mampu menumbuhkan semangat nasionalisme.
Baca juga: Laura Basuki bersyukur hidup di masyarakat yang hargai perbedaan
Baca juga: Laura Basuki merasa terhormat perankan Susy Susanti
Baca juga: Perjuangan Laura Basuki perankan Susy Susanti
Pewarta: Maria Cicilia
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2019