• Beranda
  • Berita
  • HMI: Tempat lahirnya Bahasa Indonesia kurang populer

HMI: Tempat lahirnya Bahasa Indonesia kurang populer

28 Oktober 2019 16:35 WIB
HMI: Tempat lahirnya Bahasa Indonesia kurang populer
Salah satu situs bersejarah di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Pulau ini juga sebagai cikal-bakal lahirnya Bahasa Indonesia (Nikolas Panama)

padahal di kota ini tempat lahirnya Bahasa Indonesia

Himpunan Mahasiswa Islam Kota Tanjungpinang menyatakan Provinsi Kepulauan Riau, sebagai cikal-bakal lahirnya Bahasa Indonesia sampai sekarang kurang populer.

"Masih banyak orang-orang di provinsi lain, terutama di Jawa dan wilayah Indonesia tengah dan timur tidak mengetahui Kepri sebagai provinsi yang sudah dimekarkan dari Riau," kata Ketua HMI Tanjungpinang-Bintan, Arifin, di Tanjungpinang, Senin.

Ia mengatakan, pemerintah daerah maupun masyarakat belum berhasil mengangkat nama Tanjungpinang maupun Kepri ke kancah nasional maupun internasional.

Sampai sekarang, menurut dia masih banyak yang menganggap Kepulauan Riau atau Kepri itu adalah Riau, padahal itu dua provinsi yang berbeda. Kondisi ini dinilai ironi lantaran Raja Ali Haji, Pahlawan Nasional yang juga dikenal sebagau Bapak Bahasa Indonesia lahir di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang.

Baca juga: Menjunjung bahasa persatuan via media sosial

"Tanjungpinang pun masih banyak yang belum tahu, padahal di kota ini tempat lahirnya Bahasa Indonesia. Banyak warga di provinsi lain menganggap Tanjungpinang itu adalah Pangkal Pinang yang berada di Babel," katanya.

Arifin mengatakan, saat ini ada momentum yang cukup menarik untuk memperkenalkan Kepri yang sering disebut Riau kepada seluruh masyarakat Indonesia yakni Hari Sumpah Pemuda.
Hari Sumpah Pemuda merupakan momentum yang sangat bersejarah, karena pada Kongres Pemuda II yang diselenggarakan di Jakarta pada 28 Oktober 1928 menjadi hari bersejarah, dan diperingati setiap tahun sebagai Hari Sumpah Pemuda.

Momentum ini sangat berarti bagi para pejuang bangsa Indonesia dan para pemuda kala itu, karena semula di nusantara belum memiliki bahasa persatuan, namun pada Kongres II ini secara resmi Bahasa Melayu ditetapkan sebagai Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional.

Dalam rekam sejarah pada 28 Agustus 1916 oleh Ki Hajar Dewantara di Kongres pengajaran Kolonial telah mengusulkan untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Sehingga pada Kongres pertama Pemuda Indonesia bahasa Melayu diusulkan dengan nama baru yakni bahasa Indonesia dan saat ini setelah Indonesia merdeka ditetapkan sebagai bahasa negara yang tersurat dalam UUD 45 Pasal 36.

Pemilihan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan bukan tanpa pertimbangan. Ini merupakan bentuk penghargaan yang tinggi sebagai sumbangsih orang Melayu terhadap bangsa negara Indonesia, karena dalam kondisi yang belum memiliki bahasa persatuan para pejuang saat itu menyadari betul perlunya ada bahasa nasional yang dapat menyatukan perjuangan kemerdekaan.

Untuk memenuhi tuntutan tersebut bahasa melayu telah dipilih dari berbagai macam bahasa suku yang tumbuh kembang di nusantara pada saat itu.

"Maka tidak salah dan patut mendapat penghargaan yang tinggi yang telah membina dan mengembangkan bahasa melayu melalui karyanya Kitab Pengetahuan Bahasa pada tahun 1858.
Raja Ali Haji (1808-1873) sosok pemimpin dan penghasil karya-karya spektakuler yang mampu memberikan manfaat sampai hari ini. Selain kitab pengetahuan bahasa beliau juga sebelumnya telah menulis buku dalam bidang bahasa melayu dan ada banyak karya-karya penulisan lainnya seperti Gurindam 12 yang isinya penuh dengan nasehat," katanya.

Raja Ali Haji mendapat anugerah pada 6 November 2004 sebagai Pahlawan Nasional dan Bapak Bahasa sehingga secara tidak langsung menegaskan bahwa Kepri merupakan tempat lahirnya orang yang telah memberikan sumbangsih besar pada perjuangan dan persatuan Indonesia.

Baca juga: Bahasa Indonesia jadi alat komunikasi warga Biak di pelosok kampung
 

Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019