"Sebenarnya masalah utamanya adalah masalah sosial," kata Camat Tebet, Jakarta Selatan, Dyan Airlangga saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.
Ia menjelaskan, mereka (pelaku tawuran) anak-anak usia muda potensial tapi tidak memiliki kesempatan, dalam artian putus sekolah (SMP dan SMA) tidak memiliki keahlian.
"Selain sosial ditambah lagi faktor budaya," kata Dyan.
Faktor budaya yang dimaksudkan Dyan adalah tradisi tawuran sudah dilakukan turun-temurun dari abang-abang sebelumnya.
"Bahwa abang-abang mereka dulu seperti itu, dan merekapun begitu jadi seperti itu (tawuran)," katanya.
Baca juga: Tawuran Manggarai, kereta lintas Jakarta Kota-Manggarai terhambat
Baca juga: Tawuran warga kembali pecah di Kawasan Manggarai
Dyan menyebutkan, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah daerah untuk mengentaskan permasalahan sosial tersebut adalah lewat kegiatan pelatihan kerja.
Pelatihan kerja ini bekerjasama dengan Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Selatan dan Dinas Tenaga Kerja Pemprov DKI Jakarta dengan mengirim sejumlah pemuda untuk mengikuti pelatihan secara gratis.
"Melatih mereka memiliki skill melalui pelatihan seperti yang ada di Sudin tenaga kerja dan balai tenaga kerja, mudah-mudahan mereka punya keahlian untuk melakukan aktivitas positif," kata Dyan.
Selain mengikuti pelatihan, upaya lain adalah menyalurkan para remaja yang tidak memiliki keahlian tersebut sebagai tenaga kontrak Pemprov DKI Jakarta seperti Petugas Penanganan Prasaran dan Sarana Umum (PPSU) atau tenaga di Bina Marga Sumber Daya Air dan Kehutanan.
Menurut dia, setiap tahun Penyedia Jasa Lainnya Orang Perorangan (PJLP) menerima tenaga kerja tanpa keterampilan yang membutuhkan keterampilan fisik saja.
"Nah kita coba salurkan ke sana jadi mereka ada aktivitas," katanya.
Baca juga: Lalu lintas menuju Terminal Manggarai normal dua arah pascatawuran
Baca juga: Tidak ada fasilitas yang dirusak massa saat tawuran Manggarai
Dyan mengakui, langkah ini belum terlalu banyak bisa menyerap tenaga kerja dari kelompok masyarakat yang kurang produktif tersebut. Hanya mampu menyediakan lima sampai 10 orang saja.
Tetapi dia optimistis, kalau terus dilakukan melatih keterampilan anak-anak di kawasan Manggarai tersebut maka tawuran bisa dicegah.
Menurut dia, tawuran terjadi karena para pemuda tersebut tidak memiliki aktivitas yang lain dikarenakan persoalan sosial tadi, dengan pelatihan yang diberikan diharapkan mereka memiliki keahlian memperbaiki ponsel dan AC sehingga disibukkan dengan pekerjaannya tidak lagi turun ke jalan untuk tawuran.
"Untuk itu program ini kita prioritaskan mereka yang dituakan oleh mereka (senior)," katanya.
Dyan menambahkan, menuntaskan persoalan tawuran menjadi tugas berat karena dihadapkan pada terbatasnya lapangan pekerjaan dan masyarakat yang tidak memiliki keterampilan.
Berkaca pada kejadian tawuran Manggarai bulan September 2019 lalu, sekitar 200-300 pelaku tawuran yang ada di Manggarai adalah remaja usia produktif antara 15 sampai 25 tahun yang tidak memiliki keahlian dan putus sekolah.
Dia menyebutkan sebagian besar kepala keluarga di wilayah Manggarai berprofesi sebagai pekerja serabutan.
Kondisi ini lanjut dia, menyebabkan para pemuda di wilayah tersebut tidak memiliki aktivitas rutin sehingga mengaktualisasikan diri melalui media sosial.
"Di media sosial mereka saling sahut-sahutan dan menentukan waktu untuk tawuran, biasanya diawali dengan membakar petasan dua kali itu tanda untuk main (tawuran), biasanya seperti itu," kata Dyan.
Baca juga: Polres Jaksel adakan potong tumpeng cegah tawuran warga
Baca juga: Kemarin, Lem aibon di Disdik DKI dan tawuran Manggarai jadi sorotan
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019