Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan menyatakan terdapat empat trayek Tol Laut yang terindikasi terjadi praktik monopoli.
Direktur Lalu Lintas Angkutan Laut Kementerian Perhubungan Wisnu Handoko dalam diskusi di ruang wartawan Kemenhub, Jakarta, Jumat menyebutkan empat trayek itu di antaranya, di Namlea Kabupaten Buru, Maluku; Kemudian Saumlaki di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku.
Ada pula Dobo di Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, kemudian yang terakhir monopoli ditemukan di Wasior Kecamatan Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat.
Baca juga: Presiden ungkap ada swasta kuasai harga barang yang gunakan Tol Laut
“Rata-rata laporannya karena di sana pengirimannya paling besar, di Maluku dan Papua memang paling banyak trayek,” katanya.
Wisnu mengatakan akibat monopoli tersebut, harga bahan pokok yang dikirim ke daerah melalui Tol Laut masih tinggi, sehingga program tersebut dianggap tidak efektif.
Dia menuturkan terdapat lima potensi terjadinya monopoli di trayek Tol Laut, di antaranya pertama, “shipper/forwarder” atau pengirim barang menguasai pemesanan kontainer, misalnya memakan nama perusahaan berbeda, tetapi nama pemiliknya sama.
Baca juga: Subsidi Tol Laut 2020 Rp436 miliar
Kedua, pengirim barang bisa bersamaan menjadi “conseignee” atau penerima.
“Otomatis kan ada korelasi kok pakai itu terus jasanya,” katanya.
Ketiga, perusahaan operator yang melayani pengiriman barang tidak banyak, artinya persaingan yang sedikit membuat indikasi kartel.
“Kecenderungan kalau itu saja harga jadi tinggi karena tak ada pilihan lagi. Misal di Dobo yang layani satu forwarding saja, harga jadi naik terus. Relatif biaya pelabuhannya (terminal handling charges) tidak alami kenaikan,” ujarnya.
Keempat, hanya ada koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) yang hanya melayani satu pelabuhan dan tidak ada kompetisi, sehingga biaya tinggi.
“Selama ini kita selalu kritisi di pelabuhan ada satu TKBM, karena tak ada kompetisi akhirnya biaya tinggi. TKBM minta biaya tambahan bisa di luar ‘cargo handling’ dan sebagainya hingga Rp1juta,” katanya.
Kelima, penerima barang atau “conseignee” masih mematork harga tinggi meskipun sudah disubsidi.
“Yang sudah dapat barang banyak seharusnya jual harga murah karena sudah disubsidi, misal disubsidi 20 persen disparitas turunnya segitu juga lah. Masalahnya, untuk ‘conseignee’ yang borong, kami rasa dia tidak jual dengan harga lebih rendah dari harga pasar,” katanya.
Untuk mengantisipasi itu semua, Wisnu mengatakan pihaknya akan membuat pengawasan secara digital untuk informasi muatan dan ruang kapal agar bisa didata pengirim barang, penerima barang, jasa pengurusan transportasi dan pengangkutnya.
“Monopoli itu pasti terjadi sebagian besar karena ada pihak yang dapat pesanan kontainer paling banyak. Untuk itu, Informasi Muatan Ruang Kapal (IMRK) didesain kita batasi, jadi tidak berbasis komersial. Kalau komersial booking dulu dia bawa, seperti di pesawat. Dia bebas tak berkuota. Di Tol Laut tak bisa gitu, kita atur,” katanya.
Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019