Yayasan Madani Berkelanjutan menyebut potensi penurunan emisi nasional dari pelaksanaan program Perhutanan Sosial dapat memenuhi 34,6 persen target Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia di 2030.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya di Jakarta, Rabu mengatakan studi Madani bersama Yayasan Climate and Society terkait Kontribusi Perhutanan Sosial di tiga wilayah Perhutanan Sosial di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bukit Barisan, Sumatera Barat, menemukan bahwa persentase penurunan penebangan liar di tiga wilayah perhutanan sosial, yakni Kelompok Tani Hutan (KTH) Putra Amdam Dewi, Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Sungai Buluh, dan LPHN Gamaran mencapai 83,68 persen dengan penurunan emisi sebesar 483.941 tCO2 per tahun.
Potensi penurunan emisi dari deforestasi pada ketiga PS di KPH Bukit Barisan di atas bisa mencapai 235.254 tCO2 atau 0,025 persen dari target NDC. Jika dilakukan percepatan implementasi Perhutanan Sosial pada wilayah berisiko deforestasi sedang sampai tinggi dan dapat mencegah deforestasi di wilayah tersebut, program itu secara nasional berpotensi untuk berkontribusi sebesar 34,6 persen dari target NDC.
Yang terjadi setelah kelompok masyarakat mendapat izin Perhutanan Sosial, menurut Teguh, mereka beralih ke komoditas hasil hutan bukan kayu dan ekowisata dan oleh karenanya berkontribusi pada penurunan emisi di sektor kehutanan melalui pengurangan deforestasi dan degradasi.
Studi lain Madani terkait praktik terbaik perhutanan sosial dalam menjaga iklim bumi menunjukkan bahwa pendampingan yang kuat dalam tata kelola kelembagaan, tata kelola kawasan, dan tata kelola usaha adalah kunci sekaligus benang merah dari berbagai kisah sukses program tersebut, baik dalam meningkatkan kesejahteraan maupun mengurangi emisi.
Kisah enam perhutanan sosial yang diangkat adalah dari Hutan Kemasyarakatan (HKm) Kalibiru di Kulonprogo, Yogyakarta, HKm Bleberan Gunung Kidul, Yogyakarta, Hutan Desa Lanskap Padang Tikar, Kubu Raya, Kalbar, Hutan Desa Jorong Simancuang, Sumatera Barat, Hutan Desa Lanskap Bujang Raba, Bungo, Jambi, dan Hutan Adat Marena, Enrekang, Sulawesi Selatan.
“Masyarakat mampu menjaga hutan, namun tantangannya memang di pendampingan. Bagi 5.615 unit masyarakat yang telah mendapat SK Perhutanan Sosial pada 13 Mei 2019, baru tersedia 1.215 pendamping atau 21,64 persen. Masih banyak masyarakat pengelola PS yang belum memiliki pendamping,” ujar peneliti Madani dan penulis praktik terbaik perhutanan sosial di enam wilayah di atas Untung Widyanto.
LSM, menurut dia, tidak memiliki banyak dana dan ada tantangan ketika harus keluar dari wilayah yang didampingi. Oleh karenanya pemerintah harus memperhatikan isu pendampingan ini dengan serius.
Baca juga: Menteri Siti minta dirjen dukung percepatan perhutanan sosial
Kajian praktik terbaik ini menunjukkan bahwa ekonomi masyarakat dapat meningkat lewat skema perhutanan sosial. Pada 2016, Wisata Alam Kalibiru yang dikelola oleh KTHm Mandiri mampu mendapatkan pemasukan hingga Rp5,9 miliar dari 443 ribu turis dalam dan luar negeri.
Perhutanan sosial lainnya menghasilkan berbagai komoditas mulai dari kopi, kulit manis, karet, kakao, kapulaga, padi organik, palawija, udang vaname, kepiting bakau, madu kelulut, hingga tanaman pokok jati dan sonokeling. Namun, tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat adalah offtaker atau akses pasar.
Baca juga: Presiden minta pertemuan rutin dengan petani bahas perhutanan sosial
Dengan berbagai contoh di atas, upaya mencapai komitmen iklim dan menyejahterakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan hendaknya menjadi jangkar sekaligus koridor bagi pemerintah ketika berusaha menarik investasi sebanyak-banyaknya ke Indonesia.
“Melalui pencapaian komitmen iklim, Indonesia bisa mencegah menipisnya sumber daya alam sekaligus bencana akibat kerusakan lingkungan yang sudah dapat dipastikan akan mengganggu dan mengoreksi pertumbuhan ekonomi,” kata Teguh.
Baca juga: KLHK percepat distribusi izin Perhutanan Sosial
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019