Penyelundupan dan perdagangan hewan langka sudah bukan hal baru lagi. Dengan kemajuan teknologi saat ini, hal itu dapat dilakukan memakai wadah di internet, baik lewat media sosial maupun lapak daring yang menjamur.algoritmanya sendiri sudah cukup bisa menyimpulkan dan membedakan informasi-informasi penting seperti jenis kejahatan dan satwa liarnya apa
Seperti ungkapan api harus dilawan dengan api, perdagangan hewan ilegal juga harus mulai dilawan dengan menggunakan teknologi, yang kini mulai bisa dilakukan dengan perangkat lunak bernama Pangolin. Lapak itu bisa membantu usaha otoritas untuk melawan perdagangan hewan langka.
Adalah enam pemuda dari Indonesia yang menciptakan prototipe tersebut, salah satunya Lintang Sutawika yang berhasil memenangkan kontes teknologi Zoohackathon 2019 di Kota Kinabalu, Malaysia dengan Pangolin, satu perangkat lunak berbasis artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang dapat mengekstrak informasi kunci dari artikel berita.
Dalam kontes yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat itu, peserta diberikan waktu sekitar 48 jam untuk solusi berbasis teknologi dalam melawan perdagangan ilegal hewan-hewan langka dan dilindungi.
Lintang dan rekan-rekannya, yang kebanyakan bergerak di bidang pengembangan AI, mencoba mencari solusi yang dialami oleh para analis ketika ingin mengidentifikasi jalur dan pola kejahatan perdagangan satwa ilegal.
Menurut Lintang, para analis banyak membuang waktu untuk menelusuri pemberitaan di banyak artikel media dari berbagai media massa karena dilakukan secara manual.
"Umumnya dalam satu kasus, analis itu harus mengumpulkan berpuluh-puluh artikel dan itu bisa memakan waktu yang lama, menghabiskan waktu yang cukup besar untuk mengumpulkan data bukan melakukan analisanya," tegas Lintang yang juga memiliki perusahaan perangkat lunak berbasis kecerdasan buatan bernama Konvergen AI.
Pemborosan waktu itulah yang berusaha dihilangkan oleh perangkat lunak Pangolin, dengan menggunakan AI untuk membaca suatu artikel dan mengidentifikasi kata kunci penting yang berada di artikel dan menyimpannya.
Informasi-informasi penting seperti itulah yang kemudian bisa digunakan oleh para analis untuk mengidentifikasi pola-pola jalur perdagangan, jenis kejahatan, jenis hewan yang diperdagangkan dan bahkan nama-nama pelaku, jika tertulis di dalam artikel yang ada.
Pangolin bekerja dimulai dengan sistem yang melakukan data scrapping atau pengikisan data di mana program komputer mengekstrak data dari situs berita, lalu disimpan di basis data yang kemudian akan diakses oleh algoritma machine learning atau AI yang selanjutnya akan mengambil berita, dan mengembalikan informasi yang diekstrak.
Baca juga: Bitung dan upaya pencegahan perdagangan ilegal satwa liar
Dalam percobaan yang sudah dilakukan dengan prototipe Pangolin di Kota Kinabalu, perangkat lunak itu mampu memproses sekitar 100 artikel dalam satu jam, jauh lebih cepat dibandingkan dengan jika dilakukan manual oleh analis.
Algroritma itu kemudian akan menyimpan berbagai informasi yang berada di artikel tersebut, seperti nama satwa, jenis, dan tipe kejahatan yang dilakukan.
Hasil tersebut akan ditampilkan melalui interface hasil-hasil ekstrasi data tersebut. Pengguna aplikasi itu dapat memverifikasi data tersebut, kemudian menggunakannya untuk melakukan analisa.
Jika data yang ditemukan oleh algoritma AI itu salah, pengguna dapat memperbaikinya agar mesin tersebut dapat belajar dan meningkatkan akurasinya.
Untuk tingkat ketepatan akurasi dari algoritma AI tersebut, Lintang masih belum bisa memberikan angka yang pasti karena baru diuji coba dalam set data yang sempit ketika penjurian lomba itu, yang juga diadakan di 15 kota lain selain Kota Kinabalu, Malaysia.
“Masalah akurasinya sendiri kita masih belum bisa menyimpulkan, tapi algoritmanya sendiri sudah cukup bisa menyimpulkan dan membedakan informasi-informasi penting seperti jenis kejahatan dan satwa liarnya apa,” tegas dia.
Upaya Pengembangan
Meski membuat Pangolin untuk perlombaan teknologi, Lintang tidak mengesampingkan kemungkinan untuk mengembangkan perangkat lunak itu menjadi sesuatu yang bisa dipakai oleh berbagai kalangan, seperti otoritas atau analis lembaga swadaya masyarakat yang berjuang untuk memberantas perdagangan satwa langka dan yang dilindungi.
Data-data yang dikumpulkan oleh Pangolin dapat digunakan untuk meriset jalur perdagangan illegal, volumenya atau juga jenis-jenis satwa liar apa yang paling rentan diperdagangangkan.
Dari situ, ujar Lintang, analis dapat mengembangkan pola dan kesimpulan berbagai macam data yang sudah dikumpulkan oleh Pangolin.
Baca juga: BPPT: Indonesia harus menguasai IoT AI dan cloud
Namun, untuk membuat prototipe tersebut menjadi produk yang siap digunakan untuk khalayak masih memerlukan waktu yang panjang dan dana yang tidak sedikit. karena selain melibatkan pakar AI seperti Lintang dan timnya, juga membutuhkan profesional lain hingga siap digunakan oleh pengguna umum.
“Software yang kita tawarkan kalau misalnya untuk production level berarti harus tidak hanya melibatkan AI engineer tapi juga software engineer, security management, dan sebagainya, sehingga saya sekarang sedang melihat kesempatan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait,” ujar alumnus Magister Ilmu Komputer Universitas Indonesia itu.
Pangolin, kata dia, pada Januari 2020 akan bersaing dengan para pemenang Zoohackathon dari 15 kota lain dan mungkin dari sana, ada pihak yang tertarik untuk mengembangkan perangkat lunak tersebut menjadi proyek yang serius.
Terancam punah
Perdagangan ilegal untuk flora dan fauna langka serta terancam punah, kini sudah menjadi ancaman serius dengan diperkirakan 1.000.000 spesies hewan dan tumbuhan dan hewan semakin terancam punah dalam beberapa dekade.
Hal itu berdasarkan laporan terbaru dari Platform Sains-Kebijakan Antarpemerintah tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services/IPBES).
Menurut data yang dikeluarkan IPBES pada Mei 2019, jumlah rata-rata spesies asli di sebagian besar habitat berbasis daratan telah berkurang setidaknya 20 persen. Lebih dari 40 persen amfibi, 33 persen karang pembentuk terumbu, dan sepertiga mamalia laut juga terancam.
Baca juga: UI-Idealab bangun pendidikan dan laboratorium kecerdasan buatan
Setidaknya 680 spesies vertebrata telah punah sejak abad ke-16 dan lebih dari sembilan persen dari mamalia jinak yang digunakan untuk pangan dan pertanian telah punah pada 2016, dengan setidaknya 1.000 jenis lain masih terancam.
Di Indonesia, kondisi perlindungan hewan langka sendiri dan terancam punah sendiri diperparah dengan perdagangan ilegal satwa yang cukup besar bahkan disebut bisa mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya.
Kondisi itu diperbukuk dengan terjadinya perusakan hutan dan lahan akibat alih fungsi lahan dan kebakaran hutan serta lahan yang mengancam spesies endemik yang banyak hidup di luar kawasan konservasi.
"Degradasi, perubahan lahan, paling banyak berpengaruh. Itu yang kita sangat prihatin terhadap keberadaan jenis endemik, terutama wilayah yang harus segera kita lestarikan," kata Kepala Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) Joeni Setijo Rahajoe dalam seminar di Bogor, Jawa Barat, Selasa (5/11).
Pemerintah sudah memasukkan isu habitat satwa langka dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, mengacu pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Sesuai hasil KLHS RPJMN 2020-2024, luas tutupan habitat spesies langka yang harus dipertahankan minimal seluas 43,2 juta hektare.
Baca juga: Presiden ingatkan dampak kecerdasan buatan pada pekerjaan
Baca juga: Masyarakat dapat melaporkan perdagangan satwa dilindungi melalui e-Pelaporan
Mengidentifikasi kejahatan satwa liar melalui kecanggihan Pangolin
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019