Ismail merujuk pada data indeks demokrasi Malaysia dalam dua tahun belakangan yang meningkat yaitu menjadi peringkat 52 pada 2019 dari sebelumnya peringkat 58 pada 2018.
"Situasi kebebasan sipil kami bukan menciut, melainkan lebih terbuka. Namun keterbukaan itu tidak berarti memberikan lanskap yang positif, karena kami harus menafsirkan kebenaran dalam gelombang fake news atau berita palsu," ujar Ismail bin Yusop, dalam seminar bertajuk "Menciutnya Civic Space dan Pembangunan Perdamaian di ASEAN" di Jakarta, Senin.
Menurut dia, titik tolak perubahan politik di Malaysia pada 9 Mei 2018 lalu dengan pergantian rezim kerajaan baru memunculkan tantangan besar bagi demokrasi dan kebebasan sipil di negara itu.
Setidaknya ada tiga hal yang disoroti sebagai tantangan tersebut, yaitu situasi doktrin politik yang eksklusif dimiliki oleh para elit, keberagaman, serta prinsip koeksistensi dalam damai.
Baca juga: Pakatan Harapan gerakan perubahan bersejarah
Dengan keadaan tantangan yang semacam itu, Ismail menyebut, "tumpuan atau fokus utama untuk membuka kebebasan sipil adalah dua lembaga pokok pada sistem demokrasi di Malaysia, yaitu Dewan Rakyat dan Dewan Negara, dengan pemerintahan yang transparan."
Dari situ, tambah dia, perlu dilanjutkan dengan pendidikan politik bagi masyarakat sehingga bisa memberikan keterlibatan dalam proses demokrasi dan membuka ruang-ruang dialog terkait kebebasan sipil.
"Pendidikan demokrasi dan literasi politik harus menjadi agenda yang perlu dijalankan," kata Ismail.
Selain pendidikan, untuk menjawab tiga tantangan demokrasi Malaysia dan membangun perdamaian di sana, diperlukan pula peranan dari prinsip-prinsip agama Islam dan agama lain serta penyusunan peraturan negara yang sejalan dengan semangat demokrasi.
Baca juga: Kantor kelompok pro-demokrasi Malaysia digerebek jelang demonstrasi
Baca juga: Mahathir: demokrasi Malaysia mati di bawah kepemimpinan PM Najib
Baca juga: Anwar: Indonesia harus kelola demokrasi lebih baik
Pewarta: Suwanti
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2019