Pemegang konsesi wajib dibebani tanggung jawab dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) karena cara tersebut dinilai efektif dan tidak membutuhkan banyak biaya dibandingkan penanggulangan karhutlaTanggung jawab pemegang konsesi menjadi penting karena mereka akan fokus menjaga kawasannya
Pengamat Lingkungan dan Kehutanan Petrus Gunarso di Jakarta, Rabu mengatakan, tanggung jawab itu akan memaksa setiap pemegang konsesi aktif menjaga, mencegah, menerapkan teknologi lingkungan, melakukan pemadaman saat terbakar serta melibatkan masyarakat di sekitar konsesi untuk mencegah karhutla.
“Tanggung jawab pemegang konsesi menjadi penting karena mereka akan fokus menjaga kawasannya," katanya dalam seminar bertema “Penanggulangan Karhutla berbasis Masyarakat”.
Dengan cara tersebut, tambahnya, potensi terjadinya karhutla yang disinyalir 99 persen merupakan ulah manusia bisa dicegah dan tidak lagi menjadi bencana berulang.
Menurut dia, pemegang konsesi hutan dan kawasan yang masuk Area penggunaan lain (APL) perlu dibedakan secara legalitas dan masing-masing punya tanggung jawab sama dalam menjaga konsesinya.
Jika cara ini diterapkan, kebijakan tanggung jawab mutlak sebagai dasar pembayaran ganti rugi bisa diberlakukan kepada semua pihak baik korporasi, pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pihak-pihak pengelola konsesi.
Kebijakan ini secara tidak langsung juga akan memotivasi pemerintah sebagai penanggung jawab keseluruhan daratan untuk mengelola kawasan yang sudah berizin maupun yang belum berizin dengan baik.
Kesetaraan tanggung jawab bagi pengelola konsesi diharapkan bisa meminimalisir kampanye hitam terhadap industri sawit di Indonesia.
Sementara itu Wakil Rektor IPB Dodik Ridho Nurrachmad mengatakan, produktivitas suatu kawasan sangat menentukan banyaknya titik api (hotspot).
Umumnya semakin tidak produktifnya satu kawasan seperti kawasan terbuka atau open access yang tidak dibebani izin pengelola, hotspot semakin banyak.
"Kecil kemungkinan suatu kawasan produktif seperti perkebunan sawit terbakar dan punya banyak hotspot. Kalau pun itu ada, harus dilihat motif dan modusnya," katanya.
Dodiek menyarankan Pemerintah tidak menutup opsi lain dalam restorasi gambut. Selain Pembasahan gambut (rewetting) sebaiknya opsi pemadatan dibuka sebagai salah satu upaya untuk mencegah kebakaran.
Menurut Dodiek, rewetting juga tidak menjamin tinggi muka air bisa sama yakni 0,4 m, terutama di perkebunan sawit rakyat, karena usia sawit khususnya sawit rakyat berbeda-beda serta bentuk kanal yang tidak beraturan.
"Pemadatan juga punya sisi baik. Dengan tehnik ini kebakaran hanya terjadi dipermukaan. Kapilaritas yang sempit akan mendorong air naik ke permukaan sehingga tanah lembab. Ini akan memotong salah satu sumber kebakaran di segitiga api sehingga potensi kebakaran di bawah permukaan tanah sangat kecil," jelas Dodiek.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Joko Supriyono mengatakan, penguatan desa di tingkat tapak perlu dilakukan sebagai solusi pencegahan karhutla.
Menurut Joko, perlu dibuat peta desa untuk memetakan kondisi desa, wilayah rawan kebakaran, sumber air serta akses kepemilikan lahan.
Pemerintah juga perlu menunjuk satu instansi sebagai penanggung jawab perencanaan program desa dengan memanfaatkan dana desa untuk operasional pencegahan kebakaran hutan dan lahan di tingkat desa.
Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK Raffles Panjaitan mengatakan pihaknya akan membentuk 1.200 desa rawan karhutla dan mengajak masyarakat berpartisipasi.
Nantinya, lanjutnya, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) akan membuat teknologi yang akan disesuaikan dengan kondisi wilayah, yang akan memberikan sinyal jika ada karhutla.
Selain BPPT, KLHK sudah berkoordinasi dengan Kementerian Desa Pembangunan dan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Baca juga: KLHK upayakan pengendalian karhutla berbasis masyarakat
Baca juga: Kapolri temui Menteri LHK bahas pembalakan liar hingga kebakaran hutan
Pewarta: Subagyo
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019