Tarian Shangyang Dedari termasuk dalam delapan tarian di Bali yang masuk dalam situs warisan budaya, UNESCO. Tarian ini bukan sekadar seni budaya, namun ritual yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat di Desa Adat Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali.
Tari Shangyang Dedari di Desa Adat Geriana Kauh sempat terhenti penampilannya pada akhir tahun 1960-an dan di akhir 1990-an Tarian Shangyang Dedari kembali mentas.
Sejumlah upaya untuk melestarikan Tari Sanghyang Dedari, warga desa sudah mulai dengan cara menanam padi Bojog atau padi masa, sebagai padi yang dilibatkan dalam upacara agrikultur di Bali. Selain pencatatan dan dokumentasi yang dilakukan untuk mendokumentasi Tari Sanghyang Dedari.
Universitas Indonesia (UI) juga melakukan riset dan pengabdian masyarakat yang tujuannya untuk melestarikan Tari Sanghyang Dedari yang ada di Desa Adat Geriana Kauh, Kabupaten Karangasem, Bali.
Publikasi artikel baik akademis maupun populer juga dilakukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Dengan membangun museum, diharapkan dapat menjadi pusat data dan kajian Tari Sanghyang Dedari.
Tari Sanghyang Dedari selalu diiringi dengan gending atau nyanyian. Penduduk desa akan menabuh gending untuk mengiringi tarian para Dedari yang hadir dalam tubuh penari.
Gending Tari Sanghyang Dedari diwariskan secara turun temurun melalui tradisi lisan. Tari Sanghyang Dedari mulai dilaksanakan kembali pada akhir 1990-an dan warga desa saat itu kesulitan menghafal gending Tari Sanghyang Dedari karena tidak adanya catatan tertulis.
Untuk melestarikan gending Tarin Sanghyang Dedari, warga Geriana Kauh menyadur gendin Tari Sanghyang Dedari ke dalam lontar dan aksara latin.
Tari Sanghyang Dedari merupakan tarian sakral masyarakat Bali yang erat kaitannya dengan tradisi agrikultur Bali. Tarian ritual yang berfungsi mengusir musibah dan malapetaka yang menimpa desa.
Sanghyang Dedari ditarikan oleh anak perempuan yang belum mengalami pubertas dan dilakukan ketika padi sudah mulai berbuah. Ritual tari ini digelar agar tanaman padi terhindar dari malapetaka dan mengharapkan hasil panen yang melimpah.
Saat ini diketahui ada 25 jenis, yaitu Tari Sanghyang Dedari, Sanghyang Sampat, Sanghyang Lingga, Sanghyang Jagad, Sanghyang Jaran, Sanghyang Menjangan, Sanghyang Deling, Sanghyang Kebo, Sanghyang Bangau, Sanghyang Barong.
Selanjutnya Sanghyang Tujo, Sanghyang Prahu, Sanghyang Kelor, Sanghyang Bunga, Sanghyang Lelipi (ular), Sanghyang Celeng (babi), Sanghyang Kuluk (Puppy), Sanghyang Bojog, Sanghyang Sampat, Sanghyang Jaran Gading, Sanghyang Jaran Putih, Sanghyang Dongkang (katak), Sanghyang Penyu, Sanghyang Sembe, dan Sanghyang Penyalin.
Baca juga: Bupati Karangasem apresiasi pembangunan museum Sanghyang Dedari
Baca juga: Sembilan tari Bali jadi warisan budaya dunia
Museum Sanghyang Dedari
Tim Pengabdian Masyarakat (Pengmas) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) berkolaborasi dengan Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) UI serta Masyarakat Adat Geriana Kauh meresmikan Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha di Desa Adat Geriana Kauh, Karangasem, Bali, Selasa (12/11).
"Di tengah dinamika globalisasi yang menjadikan sebagian wajah Bali sebagai kota metropolitan, kami memiliki kekhawatiran bahwa tari ini terancam punah,” kata Pengabdi Utama FIB UI Saraswati Putri.
Saraswati dan tim terjun langsung ke Desa Adat tersebut sejak tahun 2016, untuk memahami, berafeksi dan berinteraksi dengan masyarakat setempat.
Saraswati melihat bahwa masyarakat Desa Adat Geriana Kauh menyadari akan pentingnya melestarikan warisan budaya leluhur mereka.
Untuk itu, kami menggagas pendirian museum ini sehingga dapat menopang keberadaan Tari Sang Hyang Dedari.
Usai peluncuran, Museum yang kami dirikan ini akan diserahkan kepada masyarakat sehingga bangunan akan menjadi milik komunitas yang nantinya akan dijalankan untuk kepentingan warga desa.
Kami mengarahkan warga adat setempat untuk dapat mempertahankan tradisi mereka sehingga ke depannya diharapkan Desa Adat Geriana Kauh dapat menjadi pusat ekowisata desa.
Tidak sebatas membangun dan mengisi Museum, Tim Pengmas FIB UI juga turut meningkatkan kapasitas masyarakat dengan memberikan edukasi pengelolaan museum sehingga masyarakat setempat dapat menjalankan operasional museum secara swadaya dan profesional.
Selain itu, Tim Pengmas juga membagikan ilmu mitigasi bencana. Pengetahuan ini menjadi sangat krusial mengingat Desa Adat Geriana Kauh berlokasi di kawasan rawan bencana, khususnya dari ancaman lahar serta awan panas letusan api Gunung Agung.
Diharapkan, aksi nyata Tim Pengmas FIB UI di dalam membangun kapasitas dan kemandirian kelompok dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Pendirian museum ini didasarkan atas semangat tim Pengmas FIB UI yang didukung sepenuhnya atas antusias masyarakat untuk mencegah punahnya tradisi ritual tarian panen di wilayah Bali.
Pendirian museum berbasis komunitas yang diharapkan dapat menjadi wadah dokumentasi serta pelestarian Tari Sang Hyang Dedari, lontar dan kebudayaan lain bagi masyarakat setempat maupun turis lokal dan mancanegara.
Museum dengan luas bangunan berkisar 100 meter persegi ini, berdiri di tengah Desa Adat Geriana Kauh yang asri, hijau dan sarat akan budaya. Desa setempat dikenal sebagai desa dengan sawah padi organik yang memiliki daya tarik wisatawan.
Museum tersebut akan menjadi pusat dokumentasi Tari Sang Hyang Dedari baik itu foto, tulisan, maupun tayangan audio visual serta lontar berisi nyanyian Tari Sang Hyang Dedari.
Pendirian Museum telah dimulai pada 30 Oktober 2016 dan fisik museum telah tuntas diselesaikan pada akhir November 2018.
Pengerjaan Museum sempat terhenti akibat diterpa bencana meletusnya Gunung Agung pada September 2017.
Namun, bangunan tetap berdiri kokoh dan penataan interior serta diorama yang menampilkan Tari Sang Hyang Dedari dan kebudayaan lainnya tetap dilanjutkan.
Tari Sang Hyang Dedari merupakan tarian sakral yang telah ditetapkan oleh Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia.
Saat ini, Desa Adat Geriana Kauh menjadi satu-satunya Desa di Bali yang secara konsisten menjalankan praktik ritual tari menyambut panen Tari Hyang Dedari.
Tarian ini melibatkan anak-anak perempuan sebagai penari, komunitas penyanyi gending, dan seluruh masyarakat desa untuk mempersiapkan ritual persembahan lainnya.
Bupati Karangasem I Gusti Ayu Mas Sumatri memberi apresiasi atas dibangunnya Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha di Desa Adat Geriana Kauh, Karangasem, Bali.
"Saya mendukung dan memberikan apresiasi atas berdirinya Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha," kata I Gusti Ayu Mas Sumatri usai melakukan peresmian museum tersebut di Desa Adat Geriana Kauh, Karangasem, Bali.
Pihaknya mempunyai program untuk mewujudkan berdirinya 1.000 museum di Karangasem. Dan museum Sanghyang Dedari Giri Amertha ini merupakan museum yang keempat berdiri di Karangasem.
Museum tersebut akan menjadi tempat pengetahuan bagi murid-murid sekolah agar lebih mengenal budaya dan asal usulnya serta untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, bersih dan bermartabat.
Tarin Sanghyang Dedari ini tidak ditemukan di desa lain, jadi tari ini semacam ciri khas atau ikon desa yang membedakan dengan desa lainnya di Karangasem.
Pemerintah wajib menjaga agar jangan sampai tarian tersebut punah dan asal usulnya juga dipahami masyarakat setempat.
"Leluhur kita sudah menggariskan setiap desa mempunyai ikonnya sendiri," kata Bupati.*
Baca juga: Tari Sakral Bali kini dilarang ditampilkan untuk kegiatan komersial
Baca juga: Seni tari dalam ritual dan budaya Bali
Pewarta: Feru Lantara
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019