"Semua daerah di Maluku perlu membuat peta tematik kerawanan bencana. Masih ada daerah yang belum memilikinya," kata Ferad saat menjadi salah satu pembicara pada dialok publik "Mitigasi bencana berbasis penataan ruang dan pembangunan berkelanjutan" yang digelar Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Provinsi Maluku, di Ambon, Sabtu.
Menurutnya, pemerintah sembilan kabupaten dan dua kota di Maluku perlu mengevaluasi dan merevisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan disesuaikan dengan kondisi terkini paskagempa magnitudo 6,5 yang mengguncang Kota Ambon, Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat (SBB) pada 26 September 2019.
Dia mencontohkan, Kota Ambon yang masih menggunakan RTRW serta peta kerawanan bencana yang ditetapkan tahun 2012, perlu diperbaharui sesuai dengan kondisi aktual saat ini.
Langkah-langkah lain yang perlu dilakukan yakni mengidentifikasi lokasi-lokasi aman serta mengalokasikan penempatan bangunan pada area aman dari bencana serta perencanaan tata bangunan.
"Rencana tata bangunan ini belum tersentuh oleh semua kabupaten/kota di Maluku. Jika hal ini tidak dianggap penting maka pada akhirnya jika terjadi gempa masa semuanya akan hancur, mengingat Maluku termasuk dalam wilayah "ring of fire" atau Cincin Api.
Selain itu, provinsi Maluku merupakan salah satu daerah rawan gempa dan tsunami karena terletak pada pertemuan tiga lempeng besar yakni Pasifik, Indo Australia dan Eurasia.
Lempeng Indo Australia masuk ke bawah Eurasia, bertemu dengan Lempeng Pasifik sehingga mengakibatkan patahan yang tidak beraturan.
Dia juga menyarankan dilakukan evaluasi terhadap pemasangan dan penempatan jalur evakuasi bencana yang sudah disediakan serta penyediaan menyediakan zona penyanga (buffer zone) untuk mengurangi energi gelombang.
Begitu juga pembangunan fasilitas penting termasuk perkantoran hendaknya tidak dilakukan pada lereng gunung atau tanah yang labil dengan kemiringan diatas 15 persen.
Dia mencontohkan peristiwa tanah bergerak yang menyebabkan sejumlah gedung kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon pada Juni 2019, karena kemiringan lereng diatas 15 persen dan kemudian ditimbun, di samping dampak geologi lainnya.
Ferad Puturuhu juga menyarankan Pemprov Maluku serta kabupatren/kota untuk memanfaatkan berbagai bentuk kearifan lokal yang masih dikembangkan masyarakat untuk meningkatkan upaya mitigasi dan pengurangan risiko bencana alam.
"Banyak kearifal lokal yang berkembang di masyarakat sejak jaman dahulu dapat digunakan untuk membangun ketanguhan dan mengurangi risiko bencana, seperti cara masyarakat Maluku Barat Daya (MBD) bertahan menghadapi dampak kekeringan dan kemarau panjang dengan mengkonsumsi jagung dan biji mangga," ujarnya.
Ia juga menyarankan pemprov Maluku maupun kabupaten/kota untuk mulai memberikan "reward" atau penghargaan kepada masyarakat yang menghargai lingkungan, serta sebaliknya melakukan tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang merusak lingkungan.
Baca juga: Bencana Palu 2018 tidak bisa jadi acuan untuk peta rawan bahaya
Baca juga: Pemprov Sulteng siapkan peta rawan bencana dan mitigasi bencana
Baca juga: Banyak warga Palu tidak patuhi zona rawan bencana
Pewarta: Jimmy Ayal
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019