"Kami akan serahkan juga sebagai bukti tambahan seperti rekam sidang karena di sana akan terlihat pada persidangan kapan itu keterangannya seperti apa dan juga bukti-bukti lain akan kami jelaskan lebih lanjut," ucap Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Senin.
Baca juga: KPK beberkan fakta hukum dalam memori kasasi Sofyan Basir
Baca juga: KPK tunggu salinan vonis bebas Sofyan Basir sebelum ajukan kasasi
Baca juga: KPK uraikan keterlibatan Sofyan Basir dalam perkara proyek PLTU Riau-1
Baca juga: KPK tunggu petikan putusan keluarkan Sofyan Basir dari rutan
Baca juga: Pengacara Sofyan Basir siap hadapi jika KPK ajukan kasasi
Diketahui, KPK telah resmi mengajukan kasasi perkara Sofyan Basir tersebut ke MA pada Jumat (15/11).
"Intinya, ada beberapa hal yang sudah kami dalami lebih lanjut tetapi kami nanti tuangkan di memori kasasi dan ada waktu sekitar 14 hari untuk bisa menyelesaikan dan menyerahkan memori kasasi itu ke Mahkamah Agung," ucap Febri.
Lebih lanjut, ia juga menyatakan KPK telah mengidentifikasi bahwa putusan terhadap Sofyan pada 4 November 2019 lalu itu bukan putusan bebas murni.
"Pertama, sebagai pintu masuk kami identifikasi bahwa putusan kemarin itu bukan putusan bebas murni harusnya putusan lepas dari tuntutan hukum," ucap Febri.
Menurutnya, yang dijadikan dasar pada putusan Majelis Hakim saat itu adalah ketidaktahuan maupun tidak terbuktinya sikap sengaja dari Sofyan, misalnya soal mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih menerima suap dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited (BNR) Johannes Budisutrisno Kotjo.
"Untuk itu lah nanti kami akan uraikan lebih lanjut secara lebih sistematis, fakta-fakta, dan bukti-bukti yang sudah terungkap di persidangan tetapi belum dipertimbangkan oleh hakim karena kami meyakini betul kalau itu dipertimbangkan maka seharusnya dakwaan terhadap yang bersangkutan bisa terbukti nanti di pengadilan," ujar Febri.
Terkait pengajuan kasasi itu, kata dia, KPK pun mengharapkan MA bisa mempertimbangkan secara lebih detil dan juga menggali kebenaran materiil dari perkara Sofyan tersebut.
Pada 4 November 2019 lalu, hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis bebas terhadap Sofyan karena dinilai tidak terbukti melakukan pembantuan terkait tindak pidana penerimaan suap dalam kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) IPP PLTU MT RIAU-1.
Majelis hakim tidak sepakat dengan JPU KPK yang menuntut Sofyan agar divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan karena melakukan pembantuan sehingga Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR RI 2014-2019 dan mantan sekretaris jenderal Partai Golkar Idrus Marham sehingga menerima suap seluruhnya Rp4,75 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited (BNR) Ltd Johannes Budisutrisno Kotjo.
Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa Sofyan dinilai tidak terbukti mengetahui kesepakatan penerimaan "fee" yang akan diterima Johannes Budisutrinso Kotjo dari CHEC Ltd sebesar 2,5 persen atau sejumlah 25 juta dolar AS yang selanjutnya akan diberikan ke sejumlah pihak. Nama Sofyan juga tidak tercantum atau bukan sebagai pihak yang menerima "fee" sehingga Sofyan dinilai tidak memahami dan tidak tahu "fee" yang akan diterima Kotjo dan kepada siapa saja "fee" itu akan diberikan.
Alasan kedua hakim adalah Sofyan tidak tahu adanya kesepakatan serta pemberian uang Rp4,75 miliar dari Johannes Kotjo kepada Eni Maulani Saragih.
Alasan ketiga, proses percepatan proyek PLTU MT RIAU -1 terjadi bukan karena permintaan Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo namun karena adanya permintaan dan desakan dari pihak pemerintah karena proyek tersebut adalah program prioritas nasional seperti dalam Peraturan Peraturan Presiden No 4 Tahun 2016 sebagaimana diubah dengan Perpres No 14 tahun 2017.
Sehingga Sofyan pun dibebaskan dari segala tuntutan dan langsung dikeluarkan dari rumah tahanan KPK.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019