"Negara-negara maju sentra kedelai, saat ini menggunakan bibit kedelai yang telah dimodifikasi secara genetik atau GMO, sehingga 80 persen adalah organisme rekayasa yang belum terjamin kesehatannya ketika dikonsumsi manusia," kata Hamid Noor Yasin dalam siaran pers di Jakarta, Selasa.
Menurut Hamid, dampak akibat konsumsi produk makanan yang berasal dari rekayasa genetika, akan di ketahui setelah bertahun-tahun konsisten masuk dalam tubuh.
Untuk itu, ujar politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, diperlukan solusi yang benar-benar tepat atas permasalahan tersebut.
Baca juga: Pemerintah-Bulog dorong promosi kedelai lokal kurangi impor
"Solusi paling aman ya tidak impor kedelai. Kita gunakan produksi lokal yang lebih sehat, lebih enak dan lebih bergizi. Namun untuk saat ini memang belum memungkinkan karena produksi kedelai lokal dalam negeri hanya memenuhi 16,4 persen atau sekitar 4.800 ton dari target 2,8 juta ton kebutuhan kedelai nasional," ucapnya.
Fraksi PKS, lanjut Hamid, meminta kepada Kementerian Pertanian untuk meningkatkan produksi kedelai lokal dengan perluasan areal tanam dan mengembangkan benih unggul yang aman bagi kesehatan, tepat secara varietasnya, serta cocok dengan lingkungan iklim Indonesia yang tropis.
Apalagi, ujar dia, selama ini kedelai identik dengan tanaman subtropis, sehingga pemerintah perlu melakukan inovasi dan teknologi benih unggul kedelai untuk daerah tropis. "Dengan kesesuaian bibit kedelai dengan iklim di Indonesia, semoga upaya intensifikasi dapat dilakukan secara maksimal," katanya.
Ia berpendapat, bibit kedelai dengan varietas yang tepat, jumlah yang cukup, mutu yang baik, waktu yang sesuai, lokasi yang merata dan harga yang cocok, akan mendorong produksi kedelai secara maksimal. Sebagaimana diketahui, pada tahun 2019 ini, pemerintah telah mencanangkan produksi kedelai sebesar 3 juta ton.
Baca juga: Pengusaha tahu keluhkan kenaikan harga kedelai impor
"Ini menjadi pertanyaan besar, apakah produksi, atau menyediakan. Karena secara logika akan sulit di capai dengan luasan lahan yang tersedia," ujar Hamid.
Hingga saat ini, ketersediaan lahan untuk produksi kedelai hanya sekitar 446 ribu hektare sampai dengan 614 ribu hektare. Luasan ini secara fluktuatif terjadi naik turun tiap tahun sehingga berimplikasi pada produksi kedelai yang tidak konsisten antara 675 ribu ton sampai dengan 963 ribu ton.
Sebelumnya, Asisten Deputi Pangan dan Pertanian Kemenko Bidang Perekonomian, Darto Wahab mengemukakan kebutuhan kedelai untuk konsumsi masyarakat cukup tinggi sekitar 4,4 juta ton atau setara Rp20 triliun. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat harus didatangkan dari luar atau impor yakni Amerika Serikat sekitar 3,3 juta ton.
"Pemerintah terus mendorong petani tanam kedelai yang kadar proteinnya lebih tinggi dibanding kedelai impor. Selanjutnya kita koneksikan dan promosikan untuk kebutuhan sehari-hari di rumah sakit, sekolahan, TNI, Polri, hotel, kafe dan komunitas khusus lainnya," kata Darto Wahab.
Darto optimistis tren konsumsi kedelai lokal bisa semakin meningkat ketimbang produk impor. Pasalnya, selama ini petani sudah tanam kedelai lokal dengan baik.
Hanya saja, kedelai lokal yang ditanam petani kalah bersaing dengan kedelai impor. Sebab, harga kedelai impor sangat murah Rp4.800/kg, sedangkan kedelai lokal Rp6.800/kg.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019