Wakil Ketua DPN Perhimpunan Petani Kelapa Indonesia (Perpekindo), Muhammad Asri, Selasa, mengatakan reimpor kelapa memang tidak jarang terjadi namun dalam jumlah kecil, sehingga reimpor dalam jumlah besar seperti yang dialami Sumsel mencapai 25 kontainer (625.000 butir) perlu dikoreksi Balai Karantina Tumbuhan.
"Balai Karantina Tumbuhan perlu mengkoreksi prosedur verifikasinya, setahu saya proses sortir sebelum ekspor biasanya sudah bagus, kecuali mungkin ada yang tidak profesional (sortirnya)," ujar Asri.
Baca juga: Pemprov Sumsel sikapi penolakan Thailand atas ekspor kelapanya
Menurut dia kejadian reimpor biasanya disebabkan standar kualitas atau permasalahan dokumen, kecil kemungkinannya alasan standarisasi menjadi dalih reimpor karena ketika sudah diorder tentu sudah dipelajari dan ada perjanjian terkait standar kualitas.
Perlu juga dicek terkait kebijakan Pemerintah Thailand, kata dia, sebab karakter perusahaan dengan standar Pemerintah Thailand terkadang berbeda, Pemerintah Indonesia diharapkan tidak lepas tangan terkait persoalan reimpor tersebut.
"Jika standar sudah terpenuhi tapi ditolak artinya ada ketidak konsistenan, padahal pengusaha perlu kepastian pasar," tambahnya.
Baca juga: Eksportir rugi milyaran rupiah akibat Thailand tolak kelapa sumsel
Penolakan juga bisa menjadi ancaman pasar karena ekspor kelapa Sumsel sebagian masuk ke Thailand, ia menyarankan agar dicari akar permasalahannya terkait kemungkinan jika kesalahan sepenuhnya ada di pihak Indonesia.
"Ke depan Pemerintah Indonesia perlu melakukan konsolidasi satu pintu untuk mencegah hal-hal seperti itu terulang, pasar ini kan sangat liberal, nanti pemerintah sendiri yang repot," demikian Asri.
Berdasarkan data Bea Cukai Palembang, total ekspor kelapa dari Palembang ke Thailand sejak Januari - November 2019 mencapai 1.527 kontainer atau setara 37.106.342 ton dengan devisa senilai 6,258 juta dolar AS atau setara Rp89,052 miliar.
Pewarta: Aziz Munajar
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019