Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal memprediksi kontraksi ekspor dan impor Indonesia akan mereda pada 2020 karena negara tujuan utama akan mencari alternatif komoditas di Indonesia sebagai dampak perang dagang.Kita diuntungkan juga dengan perang dagang yang berdampak kepada batu bara dan sawit.
"Kita diuntungkan juga dengan perang dagang yang berdampak kepada batu bara dan sawit," katanya dalam seminar Core-Outlook Economic RI di Jakarta, Rabu.
Menurut Direktur Eksekutif Core Indonesia itu, perang dagang akan menekan kinerja keuangan korporasi di China sehingga mereka akan mencari sumber energi yang lebih murah seperti batu bara untuk menekan biaya produksi.
Indonesia, kata dia merupakan satu dari tiga negara bersama Mongolia dan Australia penghasil batu bara.
Baca juga: Oktober 2019, neraca perdagangan surplus 161,3 juta dolar AS
Selain batu bara, ekspor sawit Indonesia pada 2020 juga akan meningkat karena kenaikan tarif impor minyak kedelai dari Amerika Serikat oleh China akan mendorong permintaan terhadap produk substitusi, seperti minyak sawit.
Selain dengan China, negosiasi bilateral antara Indonesia dengan India tahun ini menghasilkan keputusan penurunan tarif impor minyak sawit Indonesia dari 40 persen menjadi 37,5 persen.
Selain minyak sawit, produk olahan sawit tarifnya juga turun dari 50 persen menjadi 45 persen.
Kesepakatan itu, lanjut dia, diprediksi mendorong ekspor walau masih relatif kecil.
"Kami melihat ada potensi perbaikan kinerja ekspor pada 2020 namun masih sangat terbatas dan sangat bergantung pada perkembangan ekonomi global yang masih tidak pasti," katanya.
Sebelumnya, ekspor pada tiga triwulan pertama tahun ini mengalami kontraksi hingga minus 8,1 persen jika dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Baca juga: RI ajak negara produsen sawit jalankan mandatori B20
Selain ekspor, lanjut dia, kinerja impor tahun 2020 juga diprediksi mengalami perbaikan setelah sepanjang tiga kuartal tahun ini impor mengalami kontraksi hingga minus 9,1 persen.
Ia menyebutkan kontraksi paling dalam terjadi pada impor bahan baku dan penolong sebesar minus 11,2 persen.
Impor barang modal dan barang konsumsi masing-masing mengalami kontraksi sebesar minus 6 dan minus 8,5 persen.
Kondisi itu, kata dia, mengindikasikan terjadi penurunan cukup besar pada aktivitas produksi dalam negeri.
Meski begitu, tahun 2020 impor akan membaik atau jika masih terjadi kontraksi, kata dia, kemungkinan angkanya lebih moderat.
Fokus pemerintah terkait infrastruktur, lanjut dia, diperkirakan akan meredam kontraksi impor bahan baku, bahan penolong serta barang modal dan masuknya investasi baru tahun 2020.
Selain itu, dibukanya tarif impor sejumlah bahan pangan sebagai hasil kesepakatan dagang dengan sejumlah negara seperti India untuk gula dan Australia untuk gandum dan daging sapi, akan mendorong impor.
"Indonesia pasar besar dan hambatan dagang kecil, tarif rendah dan hambatan nontarif sedikit," katanya.
Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019