• Beranda
  • Berita
  • Ahli: Permintaan "red notice" kepada Sjamsul Nursalim melawan hukum

Ahli: Permintaan "red notice" kepada Sjamsul Nursalim melawan hukum

25 November 2019 18:17 WIB
Ahli: Permintaan "red notice" kepada Sjamsul Nursalim melawan hukum
Surat panggilan terhadap Sjamsul Nursalim ditempel di papan pengunguman KBRI Singapura. (ANTARA/Istimewa)
Ahli hukum I Gde Pantja Astawa menilai permintaan KPK kepada National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia menerbitkan "red notice" untuk menangkap Sjamsul Nursalim (SJN) dan istrinya Itjh Nursalim (ITN) merupakan tindakan sewenang-wenang dan melawan hukum.

Guru Besar Universitas Padjadjaran itu dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin menyatakan sependapat dengan pandangan Maqdir Ismail yang juga ahli hukum bahwa langkah KPK merupakan tindakan berlebihan dan tidak berdasar hukum.

Baca juga: KPK berupaya kembalikan kerugian negara BLBI Rp4,58 triliun

Baca juga: KPK surati Interpol bantu cari tersangka Sjamsul-Itjih Nursalim

Baca juga: KPK masukkan Sjamsul dan Itjih Nursalim dalam status DPO

Baca juga: Pakar: KPK bisa lanjutkan penyidikan Sjamsul Nursalim dan Itjih


"Saya dukung sepenuhnya pernyataan Maqdir Ismail yang merespons tindakan KPK soal 'red notice'. Bahkan saya menilai tindakan KPK soal 'red notice' itu tindakan sewenang-wenang berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) huruf b UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sehingga merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad)," kata dia.

Sjamsul dan istrinya merupakan tersangka kasus korupsi terkait pemenuhan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) selaku obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Ia menyatakan dalam Pasal 18 ayat (3) huruf b tersebut ditentukan bahwa badan dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang apabila tindakannya bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Ia juga menilai tindakan KPK yang sewenang-wenang soal "red notice" itu juga merupakan tindakan yang tidak masuk akal atau tidak beralasan (kennelijk onredelijk).

Menurutnya, terdapat tiga hal yang mendasari pendapatnya tersebut.

"Pertama, dalam putusan kasasi MA secara tegas disebutkan bahwa SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung/mantan Kepala BPPN) tidak melakukan perbuatan korupsi juga tidak terbukti merugikan keuangan negara," ucap Gde Pantja.

Ia menyatakan apa yang dilakukan Syafruddin sebagai Kepala BPPN saat itu hanya menjalankan kewajiban dan melaksanakan perintah jabatan.

"Kedua, oleh karena dalam perkara SAT yang didakwa melakukan tindak pidana bersama-sama dengan SJN dan ITN telah diputuskan MA bahwa SAT tidak terbukti melakukan perbuatan pidana korupsi maka mutatis mutandis SJN dan ITN juga tidak melakukan perbuatan korupsi," ujarnya.

Ketiga, kata dia, putusan kasasi MA terhadap Syafruddin itu sudah "inkracht" atau berkekuatan hukum tetap.

"Suka atau tidak suka, fakta adanya putusan MA yang sudah berkekuatan hukum tetap harus diterima dan dihormati," kata Gde Pantja.

Ia juga mengatakan dalam kasus a quo tersebut tidak terbukti terjadi kerugian negara karena hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Tahun 2017 dinilai Majelis Hakim Kasasi tidak sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara sebagaimana diatur dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017.

"Dengan tidak terbuktinya kerugian negara, maka tidak ada satu pun orang bisa ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, termasuk SJN dan ITN," ujar Gde Pantja.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019