Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan penyebabnya adalah karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hingga saat ini belum selesai menghitung kerugian negara kasus tersebut.
"Kami kemarin menanyakan kira-kira kapan hasil audit kerugian negara itu selesai. Dijanjikan pertengahan tahun selesai oleh BPK, kalau itu sudah selesai, itu bisa kita limpahkan, karena itu yang jadi kendala," kata Marwata dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.
Baca juga: Komisi III DPR pertanyakan kasus RJ Lino "mandek" di KPK
Selain itu, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif juga menjelaskan, menurut aturan dari BPK ataupun BPKP, mereka baru mau menghitung jumlah kerugian negara ketika sudah ditentukan ada perbuatan melawan hukum.
Laode mengatakan, KPK sudah mendapatkan dua alat bukti dalam menetapkan RJ Lino sebagai tersangka kasus tersebut namun jaksa perlu menghitung kerugian negara terlebih dahulu sebelum melimpahkan kasus tersebut ke pengadilan.
"Namun BPKP hampir satu tahun lebih, dua tahun, tidak mau hitung. Saya kurang tahu apa yang terjadi lalu kita putuskan untuk pindahkan ke BPK. Setelah kita pindah ke BPK, sampai hampir bertahun-tahun di sana namun selalu hanya untuk menghitung," ujarnya.
Baca juga: KPK panggil dua mantan pejabat Pelindo II terkait kasus RJ Lino
Dia menjelaskan, Mutual Legal Assistance (MLA) yang diajukan KPK tiga tahun lalu tidak juga direspons otoritas Cina karena MLA dengan otoritas Cina ini diperlukan KPK untuk menghitung kerugian keuangan negara akibat korupsi yang diduga dilakukan RJ Lino.
Akhirnya menurut dia, KPK meminta ahli menghitung komponen satu dua tiga empat per komponen, setelah itu dibandingkan dengan harga di pasar dunia itu berapa.
"Jadi jangan anggap KPK itu tidak melakukan upaya maksimum, bahkan ada satu tim forensik kami pergi, pretelin itu semuanya ke tempat lain, akhirnya kami mendapat ahli," katanya.
Baca juga: KPK panggil dua saksi kasus pengadaan QCC Pelindo II
Baca juga: KPK dalami pencairan dana pengadaan QCC Pelindo II
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2019