"Jika tidak sesuai, ada potensi munas tandingan yang dari sisi legalitas dan legitimasi lebih kuat karena acuannya adalah AD/ART Partai Golkar," kata Hidayat di Jakarta, Rabu.
Dalam AD/ART Partai Golkar Pasal 50 Ayat (1) disebutkan bahwa pemilihan ketua umum dilaksanakan secara langsung oleh peserta musyawarah. Selanjutnya, kata Hidayat, pada Ayat (2) diatur bahwa pemilihan dilakukan melalui penjaringan, pencalonan, dan pemilihan.
Menurut Hidayat, perpecahan bisa terjadi jika dalam Munas Golkar, 4 Desember 2019, tidak ada pemungutan suara yang didahului tahapan penjaringan dan pencalonan.
Baca juga: Golkar satukan langkah sukseskan Munas
Baca juga: Politikus Golkar sebut suara DPD II penentu hasil munas
"Apalagi, jika dalam munas nanti ada upaya atau unsur paksaan untuk mengganti pemungutan suara langsung dengan dukungan tertulis dari pemilik suara," ujar Hidayat.
Justru, kata politikus senior Partai Golkar itu, dalam tahap penjaringan dan pencalonan inilah wajah demokrasi Partai Golkar terlihat.
"Setiap kader Golkar yang potensial dan memenuhi persyaratan dibebaskan mengajukan diri, kemudian dijaring dan dicalonkan sebagai ketua umum," ujarnya.
Ditegaskan pula bahwa aklamasi hanya bisa dilakukan setelah tahap penjaringan dan pencalonan. Ketika mayoritas pemilik suara menginginkan, barulah bisa dilakukan mekanisme pengambilan keputusan tersebut.
Baca juga: Sabil Rachman: Langkah Bamsoet ingkari komitmen hal biasa
Sepanjang dilakukan dengan transparan, fair, dan mematuhi ketentuan AD/ART, dia yakin semua pihak akan menerima apa pun hasilnya.
"Jika ada rekayasa dan pemaksaan itu tetap dilakukan, besar potensi terjadi perpecahan dengan acuan AD/ART partai," ujarnya.
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019